Seorang wanita menulis pesan doa dan dukungan kepada sejumlah awak pesawat Malaysia Airlines MH370 yang hilang, di pusat perbelanjaan di Petaling Jaya, Kuala Lumpur, Malaysia, |
Suarasitaronews.com-Kuala Lumpur : Misteri keberadaan pesawat Malaysia
Airlines nomor penerbangan MH370 terus mengundang perhatian dunia. Orang
dari berbagai penjuru bumi bertanya-tanya di manakah burung besi yang
mengangkut 239 orang itu berada. Salah seorang yang merasa sangat
prihatin atas tragedi hilangnya pesawat itu adalah dokter Nur Nadia
Abdul Rahim, putri pilot senior di Malaysia Airlines yang bernama Kapten
Abdul Rahim Harum.
Situs berita Malaysia, New Straits Times, memuat surat yang isinya menyentuh pada Senin, 17 Maret 2014. Di suratnya yang berjudul The Flying Driver
itu, Nur Nadia mengungkapkan betapa bangganya punya ayah sebagai pilot,
sekaligus penyesalannya karena selama ini ia menganggap pekerjaan
ayahnya tidak berbahaya.
Berikut ini surat Nadia:"Catatan ini seharusnya saya buat sejak lama agar ayah tahu betapa bangganya saya atas ayah. Saya bangga atas apa yang dia lakukan, meskipun dia jarang berada di sampingku selama hampir setengah dari hidup saya.
Saya menyesal karena pernah merasa malu untuk mengatakan ke teman-teman bahwa ayah adalah seorang pilot. Padahal, ayah adalah pilot yang sangat baik.
Saya menyesal karena pernah mengatakan ke teman-teman bahwa pekerjaan ayah adalah seorang sopir. Karena saya tidak ingin mendapat perlakuan istimewa. Toh, kehidupan saya dan keluarga juga biasa-biasa saja.
Saya adalah bagian dari keluarga besar Malaysia Airlines. Saya sudah
terbang bersama maskapai ini sejak masih bayi. Penerbangan pertama saya
ialah menuju Kinabalu. Ayah sendiri yang menjadi pilot pesawatnya. Dia
pilot favorit saya. Saya diberitahu kalau saya tidak begitu senang dan
saya anak yang sulit waktu itu (tapi menyenangkan?). Namun,
akhirnya saya tumbuh mencintai bandara dan penerbangan.
Ayah, seperti kapten pesawat Malaysia Airlines yang hilang, telah bekerja lama di maskapai ini, sejak mereka lulus sekolah. Seringkali, kami membujuk ayah untuk pindah ke maskapai penerbangan lain. Tapi dia menolak karena ingin tetap dekat dengan kami sesering mungkin. Padahal, bisa saja keluarga kami menjadi lebih makmur jika ayah menerima tawaran-tawaran itu, seperti bersekolah gratis di sekolah internasional, semua biaya hidup ditanggung, diberi sopir untuk mengantar kami. Hal-hal semacam itulah yang dicari para pilot di Malaysia Airlines.
Ayah, seperti kapten pesawat Malaysia Airlines yang hilang, telah bekerja lama di maskapai ini, sejak mereka lulus sekolah. Seringkali, kami membujuk ayah untuk pindah ke maskapai penerbangan lain. Tapi dia menolak karena ingin tetap dekat dengan kami sesering mungkin. Padahal, bisa saja keluarga kami menjadi lebih makmur jika ayah menerima tawaran-tawaran itu, seperti bersekolah gratis di sekolah internasional, semua biaya hidup ditanggung, diberi sopir untuk mengantar kami. Hal-hal semacam itulah yang dicari para pilot di Malaysia Airlines.
Memiliki ayah seorang pilot, berarti saya hanya memiliki ibu yang
melakukan semuanya, seperti mendatangi hari pertama sekolah, pemberian
penghargaan di sekolah, lomba-lomba, ulang tahun, bahkan hari raya.
Kejadian paling menakutkan yang pernah terjadi saat ayah sedang terbang
adalah rumah kami dirampok tiga orang bertopeng. Hal ini terjadi waktu
ibu sedang mengandung tujuh bulan. Dia mengatasi semuanya sendiri.
Jika ada masalah, ibuku tidak mau menelepon ayahku. Dia tidak mau membuat ayah cemas dan memaksa dia pulang ke Kuala Lumpur, padahal sedang bertugas. Ibu tahu seberapa besar beban yang ditanggung ayah. Dia juga tahu bahwa ayah harus fokus terhadap pekerjaannya. Di tangan ayah, ratusan nyawa bergantung dan banyak keluarga lain yang menunggu kerabatnya pulang, bukan hanya keluarga kami.
Saya ingat bagaimana saya tersedu-sedu saat guru Bahasa Inggris bertanya ke kami satu per satu, apa yang paling kamu ingat dari ayah? Aku berdiri dan menjawab, "Dia tidak selalu ada, setidaknya selama separuh dari waktu saya."
Jika ada masalah, ibuku tidak mau menelepon ayahku. Dia tidak mau membuat ayah cemas dan memaksa dia pulang ke Kuala Lumpur, padahal sedang bertugas. Ibu tahu seberapa besar beban yang ditanggung ayah. Dia juga tahu bahwa ayah harus fokus terhadap pekerjaannya. Di tangan ayah, ratusan nyawa bergantung dan banyak keluarga lain yang menunggu kerabatnya pulang, bukan hanya keluarga kami.
Saya ingat bagaimana saya tersedu-sedu saat guru Bahasa Inggris bertanya ke kami satu per satu, apa yang paling kamu ingat dari ayah? Aku berdiri dan menjawab, "Dia tidak selalu ada, setidaknya selama separuh dari waktu saya."
Ayah bukanlah ayah yang buruk. Dia hanya bekerja keras untuk
keluarganya. Lama-lama, aku menjadi terbiasa hidup tanpa kehadiran ayah
dan orang-orang seringkali bertanya, "Ayah mana?" Lalu biasanya saya
akan menjawab, "Entah, tapi dia ada di suatu tempat di dunia ini dan aku
harus melihat jadwal penerbangannya untuk memastikan."
Sepanjang hidupnya, kehadiran ayah buat kami selalu ditentukan oleh selembar kertas yang kerap dia berikan kepada kami setiap awal bulan. Kertas itu merupakan jadwal penerbangannya. Jadi, ayah suka kesal kalau aku bertanya, "Ayah akan terbang ke mana?" karena dia sudah memberikan jadwalnya kepada kami.
Setiap kali ayah berangkat kerja, kami pasti selalu mengantarnya sampai ke depan rumah, melihat dia dijemput mobil bandara. Terkadang, jika dia harus terbang Subuh, kami akan saling mengucapkan salam sebelum tidur. Dan setiap kali ayah pulang, kami akan menyambutnya di depan pintu rumah. Aku tidak pernah menyadari betapa pentingnya kebiasaan-kebiasaan itu sampai tragedi MH370 terjadi.
Setiap kali ayah bertugas, dia bertanggung jawab atas nyawa ratusan orang. Dia bertanggung jawab mengantarkan orang-orang bertemu keluarganya. Dia membantu pebisnis mencapai kesepakatan bisnis. Dia menolong merealisasikan mimpi para pengelana yang ingin berkeliling dunia.
Sepanjang hidupnya, kehadiran ayah buat kami selalu ditentukan oleh selembar kertas yang kerap dia berikan kepada kami setiap awal bulan. Kertas itu merupakan jadwal penerbangannya. Jadi, ayah suka kesal kalau aku bertanya, "Ayah akan terbang ke mana?" karena dia sudah memberikan jadwalnya kepada kami.
Setiap kali ayah berangkat kerja, kami pasti selalu mengantarnya sampai ke depan rumah, melihat dia dijemput mobil bandara. Terkadang, jika dia harus terbang Subuh, kami akan saling mengucapkan salam sebelum tidur. Dan setiap kali ayah pulang, kami akan menyambutnya di depan pintu rumah. Aku tidak pernah menyadari betapa pentingnya kebiasaan-kebiasaan itu sampai tragedi MH370 terjadi.
Setiap kali ayah bertugas, dia bertanggung jawab atas nyawa ratusan orang. Dia bertanggung jawab mengantarkan orang-orang bertemu keluarganya. Dia membantu pebisnis mencapai kesepakatan bisnis. Dia menolong merealisasikan mimpi para pengelana yang ingin berkeliling dunia.
Aku ingat, suatu kali seorang penumpang berusia sangat tua dan duduk
di kursi roda menunggu ayah di bandara, usai penerbangan dari London
menuju Kuala Lumpur. Pria tua itu mengacungkan dua jempolnya dan
berkata, "Anda kapten penerbangan tadi? Pendaratan yang sangat mulus,
terima kasih!" Saat itu rasa bangga membuncah di dalam diri saya
Namun, di dalam hati keluarga kami tahu, setiap kali ayah bertugas, kemungkinan menerima telepon bernada sedih yang mengabarkan ayah tidak bisa pulang selama-lamanya selalu ada. Hal itu kami terima sebagai bagian dari hidup kami sehari-hari.
Ayah terus-terusan mengikuti pelatihan. Ayah punya jadwal rutin untuk memeriksa kesehatannya, agar dia tetap fit untuk terbang. Dia juga mengikuti ujian seperti pelajar. Buku manual penerbangannya sama tebalnya dengan buku ilmu kedokteran yang kupelajari.
Dalam menjalankan profesinya, ayah adalah seorang yang mengidap OCD (Obsessive Compulsive Disorder), karena dia ingin memastikan semuanya berada dalam tempat yang benar. Bahkan, dia tidak pernah datang terlalu cepat atau terlambat meski semenit kalau dia sudah berjanji. Dia selalu tepat waktu.
Namun, di dalam hati keluarga kami tahu, setiap kali ayah bertugas, kemungkinan menerima telepon bernada sedih yang mengabarkan ayah tidak bisa pulang selama-lamanya selalu ada. Hal itu kami terima sebagai bagian dari hidup kami sehari-hari.
Ayah terus-terusan mengikuti pelatihan. Ayah punya jadwal rutin untuk memeriksa kesehatannya, agar dia tetap fit untuk terbang. Dia juga mengikuti ujian seperti pelajar. Buku manual penerbangannya sama tebalnya dengan buku ilmu kedokteran yang kupelajari.
Dalam menjalankan profesinya, ayah adalah seorang yang mengidap OCD (Obsessive Compulsive Disorder), karena dia ingin memastikan semuanya berada dalam tempat yang benar. Bahkan, dia tidak pernah datang terlalu cepat atau terlambat meski semenit kalau dia sudah berjanji. Dia selalu tepat waktu.
Ini adalah potongan kisah kehidupan keluarga awak pesawat. Awak yang
berkorban banyak agar mereka bisa menghubungkan titik A dengan titik B.
Marilah kita memberika dukungan, doa, dan ruang bagi keluarga-keluarga yang terpengaruh tragedi MH370. Sebelum Anda membuat penilaian, menunjuk, atau bahkan menyebarkan teori dan spekulasi, ingatlah bahwa Anda tidak hanya menyakiti keluarga awak pesawat yang hilang, tapi juga keluarga besar Malaysia Airlines.
Di mana pun MH370 kini berada, kami berdoa Anda kembali. (tempo.co/rags)
Marilah kita memberika dukungan, doa, dan ruang bagi keluarga-keluarga yang terpengaruh tragedi MH370. Sebelum Anda membuat penilaian, menunjuk, atau bahkan menyebarkan teori dan spekulasi, ingatlah bahwa Anda tidak hanya menyakiti keluarga awak pesawat yang hilang, tapi juga keluarga besar Malaysia Airlines.
Di mana pun MH370 kini berada, kami berdoa Anda kembali. (tempo.co/rags)
0 komentar:
Post a Comment