foto Tribunnews |
Suarasitaronews.com-Jakarta : Badan Pengawas Pemilu menemukan potensi pelanggaran pemilu di luar
negeri, khususnya di Hong Kong. Mereka mencatat, Panitia Pemilihan Luar
Negeri (PPLN) di Hong Kong menolak ribuan Warga Negara Indonesia yang
tidak terdata dalam Daftar Pemilih Tetap Luar Negeri (DPTLN) untuk
memberikan suaranya dalam pemilu legislatif yang digelar lebih dulu di
sana, 30 Maret 2014. Padahal para WNI itu sudah mebawa dokumen untuk
memilih.
Ketua Kelompok Kerja PPLN, Wahid Supriyadi, tak membantah temuan Bawaslu tersebut. Menurut dia, saat di Tempat Pemungutan Suara (TPS), PPLN mendahulukan WNI yang masuk dalam DPTLN.
“Kalau datang membawa paspor saja, diberi kesempatan satu jam sebelum TPS ditutup. Dari segi waktu, itu tidak cukup karena yang datang ribuan. Kendalanya di situ, soal waktu,” kata Wahid Kamis 3 April 2014.
Sesuai Undang-Undang, ujar Wahid, surat suara cadangan juga tidak lebih dari 2 persen dari DPT. Oleh sebab itu meski WNI dapat datang memberikan suara dengan hanya membawa paspor, yang didulukan tetap mereka yang terdaftar di DPTLN.
Wahid menyatakan, WNI di Hong Kong yang datang dengan membawa paspor atau dokumen kewarganegaraan dan ditolak PPLN berjumlah sekitar 2.000 orang. Mereka tidak masuk ke dalam DPTLN karena PPLN menggunakan database dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) yang akurasinya kemungkinan lemah.
“Ada WNI yang pindah alamat tapi tidak kasih tahu. Jadi bagaimana kami tahu? Padahal itu basisnya database,” ujar Wahid.
Terkait temuan kedua dari Bawaslu, yaitu pelayanan di TPS Hong Kong berlangsung lama dan tidak efisien, Wahid juga membenarkan PPLN di lapangan kurang siap.
“Ini pemilu pertama di Victoria Park (sebuah taman terbuka di Hongkong), biasanya di KJRI. Kami sedang evaluasi agar ke depan hal seperti ini diperhatikan. Masing-masing punya keterbatasan dalam hal tenaga, dan kaitannya dengan anggaran. Kami mengingatkan PPLN lain agar ini diperhatikan,” kata Staf Ahli Kementerian Luar Negeri Bidang Sosial Budaya itu. (Viva.co.id)
Ketua Kelompok Kerja PPLN, Wahid Supriyadi, tak membantah temuan Bawaslu tersebut. Menurut dia, saat di Tempat Pemungutan Suara (TPS), PPLN mendahulukan WNI yang masuk dalam DPTLN.
“Kalau datang membawa paspor saja, diberi kesempatan satu jam sebelum TPS ditutup. Dari segi waktu, itu tidak cukup karena yang datang ribuan. Kendalanya di situ, soal waktu,” kata Wahid Kamis 3 April 2014.
Sesuai Undang-Undang, ujar Wahid, surat suara cadangan juga tidak lebih dari 2 persen dari DPT. Oleh sebab itu meski WNI dapat datang memberikan suara dengan hanya membawa paspor, yang didulukan tetap mereka yang terdaftar di DPTLN.
Wahid menyatakan, WNI di Hong Kong yang datang dengan membawa paspor atau dokumen kewarganegaraan dan ditolak PPLN berjumlah sekitar 2.000 orang. Mereka tidak masuk ke dalam DPTLN karena PPLN menggunakan database dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) yang akurasinya kemungkinan lemah.
“Ada WNI yang pindah alamat tapi tidak kasih tahu. Jadi bagaimana kami tahu? Padahal itu basisnya database,” ujar Wahid.
Terkait temuan kedua dari Bawaslu, yaitu pelayanan di TPS Hong Kong berlangsung lama dan tidak efisien, Wahid juga membenarkan PPLN di lapangan kurang siap.
“Ini pemilu pertama di Victoria Park (sebuah taman terbuka di Hongkong), biasanya di KJRI. Kami sedang evaluasi agar ke depan hal seperti ini diperhatikan. Masing-masing punya keterbatasan dalam hal tenaga, dan kaitannya dengan anggaran. Kami mengingatkan PPLN lain agar ini diperhatikan,” kata Staf Ahli Kementerian Luar Negeri Bidang Sosial Budaya itu. (Viva.co.id)
0 komentar:
Post a Comment