Demonstran Hongkong Bentrok (foto Reuters) |
Suarasitaronews.com-Hong Kong : Ketegangan meningkat di Hong Kong, setelah puluhan ribu demonstran yang menuntut pemilu langsung, bentrokan yang terjadi antara pengunjuk rasa dan polisi, Minggu, 28 September. Ribuan demonstran bertahan di jalan, serta merencanakan aksi protes lebih besar pada 1 Oktober, bertepatan dengan hari kemerdekaan ke-65 China.
Pejabat Hong Kong mengatakan sedikitnya 41 orang terluka, termasuk polisi, serta 78 orang ditahan. Pada Senin, 29 September, massa disebut masih bertahan di lokasi aksi protes sekalipun harus berhadapan dengan polisi.
Jumlah aktivis juga disebut bertambah, setelah tindakan keras polisi memicu kemarahan publik Hong Kong. Dilansir dari Reuters, aksi protes terjadi setelah Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional China (NPCSC) merubah kebijakan soal pemilihan langsung kepala eksekutif di Hong Kong.
Pada Agustus lalu, NPCSC memutuskan bahwa pemilihan kepala eksekutif mulai 2017 tetap dapat dilakukan secara langsung, namun kandidat akan dibatasi jumlahnya. Tidak hanya itu, para kandidat harus disaring lebih dulu melalui sebuah komite, yang para anggotanya pro-Beijing.
Setelah bentrok yang terjadi, Minggu, rencana aktivis untuk menggelar aksi protes lebih besar mengundang kekhawatiran atas reaksi yang akan muncul dari Beijing.
Satu Negara Dua Sistem
Pada awal 1980-an, mendiang pemimpin China saat itu, Deng Xiaoping, mengusulkan konsep "satu negara, dua sistem" dalam upaya merealisasikan reunifikasi damai China dengan Hong Kong, Macau dan Taiwan. Konsep itu pertama kali diaplikasikan sebagai solusi untuk Hong Kong.
Pada 4 Desember 1982, Kongres Rakyat Nasional (NPC) menyetujui Konstitusi China yang baru, dengan pasal 31 mengatur, "negara dapat membentuk wilayah administrasi khusus jika diperlukan dan sistem akan ditentukan sesuai hukum yang berlaku oleh Kongres Rakyat Nasional dalam kondisi tertentu."
Xiaoping menyebut hanya akan ada satu China, tapi wilayah-wilayah yang istimewa seperti Hong Kong, Macau dan Taiwan dapat mempertahankan sistem politik dan ekonomi kapitalis, sementara wilayah lainnya tetap dibawah sistem Sosialis.
Pada 1984, Xiaoping mengusulkan prinsip itu bagi Hong Kong dalam negosiasi dengan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcer. Prinsip yang sama juga diajukan China pada Portugal atas nasib Macau.
Berdasarkan prinsip itu, Hong Kong dan Macau dapat tetap mempertahankan sistem yang sudah ada, paling tidak hingga 50 tahun sejak reunifikasi dengan China. Tapi apa yang akan terjadi setelah 2047 bagi Hong Kong dan 2049 bagi Macau, tidak pernah disampaikan dengan tegas.
Bab 1 Pasal 5 Konstitusi Hong Kong menyebutkan, "Sistem sosialis dan kebijakan tidak akan diterapkan di wilayah administrasi khusus Hong Kong, dan sistem kapitalis dan cara hidup akan tetap tidak akan berubah untuk 50 tahun."
Wilayah administrasi khusus Hong Kong secara resmi dibentuk pada 1 Juli 1997 dan Macau pada 20 Desember 1999, segera setelah China mengambil alih kedaulatan kedua wilayah dari Inggris dan Portugal.
Hong Kong dan Macau bertanggungjawab atas persoalan domestik, termasuk hukum dan pengadilan, imigrasi dan bea cukai, anggaran publik, mata uang dan ekstradisi. Masalah budaya menjadi pengecualian, dengan China mewajibkan penggunaan Mandarin dalam pendidikan umum dan penyiaran.
Sementara urusan hubungan diplomatik dan pertahanan menjadi tanggungjawab pemerintah pusat di Beijing. Kecuali penawaran Beijing dalam upaya reunifikasi dengan Taiwan, dengan membolehkan Taiwan mempertahankan tentaranya.
Hong Kong melanjutkan sistem hukum Inggris, dengan sistem diimplementasikan melalui Undang-undang Dasar (UUD) Hong Kong, yang berfungsi sebagai konstitusi yang disesuaikan dengan Deklarasi Bersama China-Inggris.
Hong Kong memperoleh otonomi yang tinggi dan menikmati kekuasaan eksekutif, legislatif dan kehakiman yang independen, serta menyusun sendiri kebijakan moneter dan keuangan, bahkan mata uang.
Walau China bertanggungjawab untuk hubungan luar negeri dan pertahanan, tapi wakil dari Hong Kong dan Macau dapat berpartisipasi dalam negosiasi diplomatik yang secara langsung terkait dengan mereka.
Untuk organisasi internasional atau konferensi yang tidak terbatas bagi negara, Hong Kong dan Macau dapat menggunakan nama sendiri. Sebagai entitas ekonomi yang terpisah, Hong Kong dan Macau juga menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hong Kong juga tercatat sebagai anggota APEC.
Janji Dilanggar
Pengamat internasional dan organisasi hak asasi manusia telah menyampaikan keraguan akan masa depan kebebasan politik yang dinikmati Hong Kong, serta janji China memberikan otonomi yang luas bagi Hong Kong.
Pada 2003, Beijing meminta pemerintah Hong Kong membuat undang-undang antisubversi. Desakan Beijing berhasil dikalahkan oleh lebih dari setengah juta warga Hong Kong yang turun ke jalan menggelar protes.
Pada 10 Juni 2013, Beijing merilis sebuah laporan tentang kekuasaannya atas seluruh wilayah China, memicu kritik banyak orang di Hong Kong yang merasa para pemimpin Komunis berusaha mengingkari janji mematuhi kebijakan "satu negara dua sistem."
Walau prinsip dua sistem menjamin otonomi Hong Kong dalam sistem politik dan ekonomi hingga 50 tahun, Beijing tercatat telah 169 kali membuat kebijakan yang melanggar hak warga Hong Kong untuk menentukan kebijakan.
Beijing juga kerap mengintervensi pengadilan dan kebebasan berbicara di Hong Kong. Sejak aksesi Hu Jintao sebagai Sekjen Partai Komunis China, pada 15 November 2002, China telah berhenti mempromosikan reunifikasi dengan prinsip "satu negara dua sistem."
Kerangka prinsip itu bahkan tidak disebut dalam UU Anti Pemisahan Diri yang disahkan pada 15 Maret 2005, yang dibuat untuk menanggapi gerakan kemerdekaan Taiwan. Kebebasan pers di Hong Kong disebut telah mengalami kemunduran.
Surat kabar dan majalah yang bersuara kritis terhadap Beijing akan kehilangan pemasukan dari perusahaan-perusahaan yang memiliki kepentingan bisnis di China. Jurnalis atau akademisi yang kritis juga dengan mudah kehilangan pekerjaan.
Bahkan pada 27 Februari lalu, Kevin Lau diserang dengan pisau setelah dipecat sebagai redaktur surat kabar Ming Pao. Sekitar 13.000 orang dilaporkan ikut dalam aksi protes terkait dengan penyerangan terhadap Lau.
Janji terpenting Beijing dalam UUD adalah terkait dengan pemilihan Kepala Eksekutif Hong Kong melalui pemilihan umum secara langsung, yang sebenarnya telah diatur dalam Deklarasi Bersama China-Inggris (Annex I).
Kontroversi terjadi saat penyusunan UUD Hong Kong, akhir 1980an. Walau Pasal 56 dan 68 Konstitusi Hong Kong menjamin pemilihan Kepala Eksekutif dan Dewan Legislatif melalui cara pemilihan langsung, tapi tidak dapat segera diberlakukan.
Pada 2007, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional China (NPCSC) menolak pelaksanaan pemilihan langsung pada 2012, namun membuka peluang untuk pemilihan langsung Kepala Eksekutif pada 2017 serta Dewan Legislatif pada 2020.
Tapi Agustus lalu, NPCSC membuat kebijakan baru. Kepala Eksekutif 2017 dapat dipilih dengan pemungutan suara secara langsung, tapi membatasi jumlah kandidat yang juga harus memperoleh persetujuan Beijing.
Buku putih Dewan Negara China tentang kebijakan "satu negara, dua sistem" di Hong Kong, yang dirilis South China Morning Post (SCMP), pada 10 Juni 2014, memperjelas perubahan pendekatan Beijing terkait otonomi dalam kerangka prinsip yang pernah dicetuskan Deng Xiaoping.
Pada buku putih itu dimuat antara lain panduan memahami secara penuh dan akurat arti "satu negara, dua sistem." Disebutkan bahwa Hong Kong bukan bagian terpisah di bawah pemerintah pusat China. "Sebagai negara kesatuan, pemerintah pusat China memiliki yuridiksi komprehensif atas semua wilayah administrasi, termasuk wilayah khusus," tulis SCMP.
Disebutkan juga bahwa otonomi Hong Kong bukan kekuasaan yang datang dengan sendirinya, melainkan diberikan atas otorisasi kepemimpinan pusat. Walau Hong Kong dijamin untuk mempraktekkan kapitalisme, namun harus tetap menghormati penuh sistem sosialis.
Sementara untuk UUD Hong Kong, SCMP menulis bahwa Konstitusi China merupakan hukum yang fundamental dengan status hukum hukum tertinggi, berlaku atas seluruh wilayah China termasuk Hong Kong. Demikian juga praktisi eksekutif, legislatif dan yudisial di Hong Kong harus mematuhi Konstitusi China sebagai UUD bagi seluruh wilayah China.
Pro dan Kontra
Dilansir dari BBC, aksi protes diorganisasi oleh kelompok aktivis pro demokrasi yang menamakan diri Occupy Central, yang mengancam akan menggelar protes berbulan-bulan apabila Beijing bersikeras membungkam demokrasi Hong Kong.
Para pemrotes menginginkan reformasi politik dan digelarnya pemilihan demokratis sesuai standar internasional. Pada seruan Occupy Central, aksi protes sebenarnya baru akan dimulai pada 1 Oktober. Namun mereka memajukan jadwal, setelah aksi protes para pelajar, akhir pekan lalu.
Mahasiswa dan pelajar telah memulai aksi protes, sejak 22 September, dimulai dengan memboikot jam pelajaran. Pada Jumat, 26 September, mahasiswa dan pelajar menduduki gedung utama pemerintah yang memicu ketegangan,
Tuntutan demokrasi terutama muncul dari kalangan pelajar, mahasiwa dan akademisi. Tokoh dibalik Occupy Central antara lain Benny Tai, seorang profesor hukum. Juga Profesor Sosiologi Chan Kin-man dan rohaniwan Chu Yiu-ming.
Banyak partai politik Hong Kong sebelumnya berbeda pendapat dalam menanggapi gerakan pro-demokrasi. Sebagian partai mendukung reformasi yang lebih lunak, namun keputusan NPCSC telah menyatukan banyak partai.
Pembatasan kandidat untuk pemilihan Kepala Eksekutif, serta seleksi yang mengharuskan kandidat mendapat dukungan dari Beijing, dinilai tidak demokratis dan tidak dapat diterima.
Di kelompok pelajar, Alex Chow dan Lester Shum memimpin Federasi Pelajar Hong Kong, serta Joshua Wong memimpin gerakan mahasiswa. Ketiganya ditahan saat para pelajar mulai turun ke jalan menggelar protes.
Dibatalkannya kebijakan setelah aksi protes besar di Hong Kong pada 2003, memperlihatkan pengaruh besar aksi protes pada keputusan Beijing. Namun yang dituntut kali ini adalah hal yang dianggap sangat sensitif bagi Beijing.
Menuntut penerapan penuh demokrasi akan menjadi perubahan radikal di Hong Kong, yang dilihat Beijing sebagai tantangan bagi otoritas mereka. Hong Kong adalah kota dengan publik yang cenderung konservatif dalam menyikapi persoalan politik. Banyak yang lebih memilih stabilitas ekonomi dan menolak aksi protes menentang Beijing.
Sebuah jajak pendapat, akhir 2013, memperlihatkan lebih dari 70 persen responden dengan pendapatan kurang dari USD 10.000 menentang gerakan pro-demokrasi. Demikian juga dengan 80 persen responden berusia lebih dari 70 tahun.
Pendukung gerakan demokratisasi terutama berasal dari kalangan pelajar dan mereka yang berpenghasilan lebih dari USD 100.000.
Aksi protes besar direncanakan Occupy Central pada 1 Oktober, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan China. Hung Ho-fung dari Universitas John Hopkins, menyebut biasanya aksi protes harus dengan persetujuan polisi.
"Kali ini pemrotes akan menggunakan ketidak patuhan sipil dan membangun barikade-barikade. Di masa lalu, demonstrasi akan dilakukan tanpa mengganggu kehidupan sehari-hari, tapi kali ini mereka sungguh tidak peduli. Saya belum pernah melihat yang seperti ini dalam sejarah Hong Kong," kata Hung.
Hung memperingatkan bahwa Beijing telah menempatkan diri di posisi tersudut dan sulit untuk mundur lagi. "Saya kira ini (demonstrasi) diluar ekspektasi Beijing, bahwa Hong Kong akan menolak dan terprovokasi dengan keputusan Beijing," ucapnya.
Hung memperkirakan bahwa China akan menggunakan para loyalis Beijing untuk memobilisasi kontra argumen. Media massa China, Senin, 29 September, mengeluarkan kecaman pada pengunjuk rasa.
Gerakan anti demokratisasi dimotori oleh para pejabat pemerintah Hong Kong dan China. Ditulis BBC, aksi protes digelar kelompok pendukung Beijing juga diikuti ribuan orang, memicu kekhawatiran bahwa Beijing akan menggunakan massa tandingan untuk menghadapi demonstrasi.
Laman The Guardian juga menulis sejumlah kelompok anti Occupy Central telah disiapkan. Pemerintah Hong Kong, Senin, mengatakan telah menarik mundur polisi anti huru-hara dan meminta demonstran untuk membubarkan diri.
Pengerahan massa pro-Beijing diyakini akan dilakukan, untuk membuat publik Hong Kong mempertimbangkan kemungkinan bentrok antar massa pendukung, serta berpikir ulang sebelum memutuskan turun ke jalan pada 1 Oktober.
Kekhawatiran China
Partai Komunis China tidak menginginkan gerakan apa pun yang menantang otoritas Beijing, terutama menghindari meluasnya kampanye pro-demokrasi hingga ke China. Para pemimpin China khawatir gerakan demokrasi di Hong Kong akan menjadi dasar tuntutan serupa di wilayah lain, menyebabkan perpecahan negara.
"Beijing membuat kalkulasi bukan hanya berdasar apa yang mereka lihat di Hong Kong, tapi kekhawatiran nyata mereka tentang kemungkinan revolusi di China," kata Jonathan Pollack, pakar China dari Institut Brookings.
"Itu adalah hal-hal yang mengagitasi lebih besar dari masalah lainnya, yang menjelaskan tentang keputusan Beijing (tentang pemilihan langsung di Hong Kong)," kata Pollack. Presiden China Xi Jinping diyakini khawatir dengan runtuhnya Uni Soviet dan "revolusi berwarna" yang menggulingkan rezim di Soviet.
Editor ekonomi untuk SCMP, George Chen, yang tengah mengikuti program beasiswa di Universitas Yale, Amerika Serikat (AS), memperingatkan bahwa prinsip "satu negara, dua sistem" ada dalam resiko berakhir dengan meningkatnya intervensi secara langsung atau tidak dari Beijing.
Menurut Chen, China khawatir jika demokrasi bergaya Barat di Hong Kong akan menjadi contoh menarik bagi pendukung gerakan demokrasi di China, terutama di kota-kota yang telah berkembang pesat seperti Guangzhou dan Shanghai, di mana kelas menengah memiliki keinginan kuat untuk adanya keadilan sosial dan reformasi politik.
"Kebebasan yang diberikan pada Hong Kong untuk memilih kandidat tanpa melalui persetujuan Beijing, akan berdampak pada wilayah China lainnya," kata Chen.
Direktur Eksekutif Pusat Forum Pasifik untuk Studi Strategi dan Internasional, Brad Glosserman, mengatakan Partai Komunis China tidak akan memberi toleransi pada setiap upaya reformasi, yang akan menantang otoritas, legitimasi dan kemampuan Beijing untuk mengendalikan seluruh wilayah.
Tik Chi-yuen, mantan legislator dari Partai Demokratik mendesak pemerintah dan pemrotes melakukan dialog. "Pemerintah tidak semestinya mengambil langkah mudah membersihkan pemrotes dengan kekuatan koersif polisi," kata Tik.
"Berdasarkan pengalaman saya dengan gerakan sosial, tindakan keras oleh polisi tidak akan membantu meredakan polarisasi di masyarakat," ucap Tik. Muncul spekulasi apakah China akan terlibat langsung untuk menghentikan demonstrasi di Hong Kong, jika merasa tidak puas dengan cara pemerintah setempat mengatasi persoalan.
Pengamat menilai pengerahan militer China ke Hong Kong hanya akan menjadi upaya terakhir. Langkah paling mungkin yang dilakukan China adalah dengan menekan pemerintah Hong Kong agar menyelesaikan persoalan, termasuk dengan kekuatan polisi dan massa tandingan.
Untuk memungkinkan pemilihan langsung pada 2017, pemerintah Hong Kong harus memberikan proposal rencana reformasi politik pada Dewan Legislatif Hong Kong. Partai-partai pro-demokrasi yang saat ini menguasai mayoritas kursi berjanji akan menggunakan veto, menolak setiap proposal yang berdasarkan pada kebijakan Beijing.
Tapi dengan begitu, Hong Kong tetap tidak akan dapat merubah keinginan Beijing. Pemilihan langsung tidak dapat dilakukan dan pemilihan kepala eksekutif pada 2017 tetap akan menggunakan cara seperti sebelumnya. Di mana sebuah komite terdiri dari 1.200 anggota yang mayoritas pro-Beijing akan memilih kepala eksekutif.
Kepala Eksekutif Hong Kong Leuung Chun-ying, mengatakan bahwa pemerintah menentang gerakan Occupy Central dan polisi akan menangani situasi sesuai dengan hukum yang berlaku. Leung mengatakan pemerintah Hong Kong tidak memiliki hak untuk meminta NPCSC untuk membatalkan keputusan.
"Hong Kong adalah demokrasi dalam konsep satu negara dan dua sistem. Hong Kong bukan demokrasi yang dapat berdiri sendiri," kata Leung. Dia menambahkan jika pemerintah memutuskan proses konsultasi reformasi politik lagi, tidak akan cukup waktu menyusun kerangka untuk pemilihan langsung pada 2017.
Menurutnya kerangka pemilihan langsung yang telah disetujui NPCSC mungkin tidak ideal, tapi telah lebih baik daripada yang berlaku saat ini. Occupy Central dan kelompok pro-demokrasi lain di Hong Kong diyakini akan memprioritaskan upaya mendesak Leung untuk mundur dari jabatan.
Tuntutan itu dianggap lebih mudah dicapai dari pada membatalkan keputusan NPCSC terkait pemilihan langsung. Namun hal paling penting telah diraih, yaitu momentum untuk menyatukan aktivis.(viva.co.id)
Pejabat Hong Kong mengatakan sedikitnya 41 orang terluka, termasuk polisi, serta 78 orang ditahan. Pada Senin, 29 September, massa disebut masih bertahan di lokasi aksi protes sekalipun harus berhadapan dengan polisi.
Jumlah aktivis juga disebut bertambah, setelah tindakan keras polisi memicu kemarahan publik Hong Kong. Dilansir dari Reuters, aksi protes terjadi setelah Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional China (NPCSC) merubah kebijakan soal pemilihan langsung kepala eksekutif di Hong Kong.
Pada Agustus lalu, NPCSC memutuskan bahwa pemilihan kepala eksekutif mulai 2017 tetap dapat dilakukan secara langsung, namun kandidat akan dibatasi jumlahnya. Tidak hanya itu, para kandidat harus disaring lebih dulu melalui sebuah komite, yang para anggotanya pro-Beijing.
Setelah bentrok yang terjadi, Minggu, rencana aktivis untuk menggelar aksi protes lebih besar mengundang kekhawatiran atas reaksi yang akan muncul dari Beijing.
Satu Negara Dua Sistem
Pada awal 1980-an, mendiang pemimpin China saat itu, Deng Xiaoping, mengusulkan konsep "satu negara, dua sistem" dalam upaya merealisasikan reunifikasi damai China dengan Hong Kong, Macau dan Taiwan. Konsep itu pertama kali diaplikasikan sebagai solusi untuk Hong Kong.
Pada 4 Desember 1982, Kongres Rakyat Nasional (NPC) menyetujui Konstitusi China yang baru, dengan pasal 31 mengatur, "negara dapat membentuk wilayah administrasi khusus jika diperlukan dan sistem akan ditentukan sesuai hukum yang berlaku oleh Kongres Rakyat Nasional dalam kondisi tertentu."
Xiaoping menyebut hanya akan ada satu China, tapi wilayah-wilayah yang istimewa seperti Hong Kong, Macau dan Taiwan dapat mempertahankan sistem politik dan ekonomi kapitalis, sementara wilayah lainnya tetap dibawah sistem Sosialis.
Pada 1984, Xiaoping mengusulkan prinsip itu bagi Hong Kong dalam negosiasi dengan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcer. Prinsip yang sama juga diajukan China pada Portugal atas nasib Macau.
Berdasarkan prinsip itu, Hong Kong dan Macau dapat tetap mempertahankan sistem yang sudah ada, paling tidak hingga 50 tahun sejak reunifikasi dengan China. Tapi apa yang akan terjadi setelah 2047 bagi Hong Kong dan 2049 bagi Macau, tidak pernah disampaikan dengan tegas.
Bab 1 Pasal 5 Konstitusi Hong Kong menyebutkan, "Sistem sosialis dan kebijakan tidak akan diterapkan di wilayah administrasi khusus Hong Kong, dan sistem kapitalis dan cara hidup akan tetap tidak akan berubah untuk 50 tahun."
Wilayah administrasi khusus Hong Kong secara resmi dibentuk pada 1 Juli 1997 dan Macau pada 20 Desember 1999, segera setelah China mengambil alih kedaulatan kedua wilayah dari Inggris dan Portugal.
Hong Kong dan Macau bertanggungjawab atas persoalan domestik, termasuk hukum dan pengadilan, imigrasi dan bea cukai, anggaran publik, mata uang dan ekstradisi. Masalah budaya menjadi pengecualian, dengan China mewajibkan penggunaan Mandarin dalam pendidikan umum dan penyiaran.
Sementara urusan hubungan diplomatik dan pertahanan menjadi tanggungjawab pemerintah pusat di Beijing. Kecuali penawaran Beijing dalam upaya reunifikasi dengan Taiwan, dengan membolehkan Taiwan mempertahankan tentaranya.
Hong Kong melanjutkan sistem hukum Inggris, dengan sistem diimplementasikan melalui Undang-undang Dasar (UUD) Hong Kong, yang berfungsi sebagai konstitusi yang disesuaikan dengan Deklarasi Bersama China-Inggris.
Hong Kong memperoleh otonomi yang tinggi dan menikmati kekuasaan eksekutif, legislatif dan kehakiman yang independen, serta menyusun sendiri kebijakan moneter dan keuangan, bahkan mata uang.
Walau China bertanggungjawab untuk hubungan luar negeri dan pertahanan, tapi wakil dari Hong Kong dan Macau dapat berpartisipasi dalam negosiasi diplomatik yang secara langsung terkait dengan mereka.
Untuk organisasi internasional atau konferensi yang tidak terbatas bagi negara, Hong Kong dan Macau dapat menggunakan nama sendiri. Sebagai entitas ekonomi yang terpisah, Hong Kong dan Macau juga menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hong Kong juga tercatat sebagai anggota APEC.
Janji Dilanggar
Pengamat internasional dan organisasi hak asasi manusia telah menyampaikan keraguan akan masa depan kebebasan politik yang dinikmati Hong Kong, serta janji China memberikan otonomi yang luas bagi Hong Kong.
Pada 2003, Beijing meminta pemerintah Hong Kong membuat undang-undang antisubversi. Desakan Beijing berhasil dikalahkan oleh lebih dari setengah juta warga Hong Kong yang turun ke jalan menggelar protes.
Pada 10 Juni 2013, Beijing merilis sebuah laporan tentang kekuasaannya atas seluruh wilayah China, memicu kritik banyak orang di Hong Kong yang merasa para pemimpin Komunis berusaha mengingkari janji mematuhi kebijakan "satu negara dua sistem."
Walau prinsip dua sistem menjamin otonomi Hong Kong dalam sistem politik dan ekonomi hingga 50 tahun, Beijing tercatat telah 169 kali membuat kebijakan yang melanggar hak warga Hong Kong untuk menentukan kebijakan.
Beijing juga kerap mengintervensi pengadilan dan kebebasan berbicara di Hong Kong. Sejak aksesi Hu Jintao sebagai Sekjen Partai Komunis China, pada 15 November 2002, China telah berhenti mempromosikan reunifikasi dengan prinsip "satu negara dua sistem."
Kerangka prinsip itu bahkan tidak disebut dalam UU Anti Pemisahan Diri yang disahkan pada 15 Maret 2005, yang dibuat untuk menanggapi gerakan kemerdekaan Taiwan. Kebebasan pers di Hong Kong disebut telah mengalami kemunduran.
Surat kabar dan majalah yang bersuara kritis terhadap Beijing akan kehilangan pemasukan dari perusahaan-perusahaan yang memiliki kepentingan bisnis di China. Jurnalis atau akademisi yang kritis juga dengan mudah kehilangan pekerjaan.
Bahkan pada 27 Februari lalu, Kevin Lau diserang dengan pisau setelah dipecat sebagai redaktur surat kabar Ming Pao. Sekitar 13.000 orang dilaporkan ikut dalam aksi protes terkait dengan penyerangan terhadap Lau.
Janji terpenting Beijing dalam UUD adalah terkait dengan pemilihan Kepala Eksekutif Hong Kong melalui pemilihan umum secara langsung, yang sebenarnya telah diatur dalam Deklarasi Bersama China-Inggris (Annex I).
Kontroversi terjadi saat penyusunan UUD Hong Kong, akhir 1980an. Walau Pasal 56 dan 68 Konstitusi Hong Kong menjamin pemilihan Kepala Eksekutif dan Dewan Legislatif melalui cara pemilihan langsung, tapi tidak dapat segera diberlakukan.
Pada 2007, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional China (NPCSC) menolak pelaksanaan pemilihan langsung pada 2012, namun membuka peluang untuk pemilihan langsung Kepala Eksekutif pada 2017 serta Dewan Legislatif pada 2020.
Tapi Agustus lalu, NPCSC membuat kebijakan baru. Kepala Eksekutif 2017 dapat dipilih dengan pemungutan suara secara langsung, tapi membatasi jumlah kandidat yang juga harus memperoleh persetujuan Beijing.
Buku putih Dewan Negara China tentang kebijakan "satu negara, dua sistem" di Hong Kong, yang dirilis South China Morning Post (SCMP), pada 10 Juni 2014, memperjelas perubahan pendekatan Beijing terkait otonomi dalam kerangka prinsip yang pernah dicetuskan Deng Xiaoping.
Pada buku putih itu dimuat antara lain panduan memahami secara penuh dan akurat arti "satu negara, dua sistem." Disebutkan bahwa Hong Kong bukan bagian terpisah di bawah pemerintah pusat China. "Sebagai negara kesatuan, pemerintah pusat China memiliki yuridiksi komprehensif atas semua wilayah administrasi, termasuk wilayah khusus," tulis SCMP.
Disebutkan juga bahwa otonomi Hong Kong bukan kekuasaan yang datang dengan sendirinya, melainkan diberikan atas otorisasi kepemimpinan pusat. Walau Hong Kong dijamin untuk mempraktekkan kapitalisme, namun harus tetap menghormati penuh sistem sosialis.
Sementara untuk UUD Hong Kong, SCMP menulis bahwa Konstitusi China merupakan hukum yang fundamental dengan status hukum hukum tertinggi, berlaku atas seluruh wilayah China termasuk Hong Kong. Demikian juga praktisi eksekutif, legislatif dan yudisial di Hong Kong harus mematuhi Konstitusi China sebagai UUD bagi seluruh wilayah China.
Pro dan Kontra
Dilansir dari BBC, aksi protes diorganisasi oleh kelompok aktivis pro demokrasi yang menamakan diri Occupy Central, yang mengancam akan menggelar protes berbulan-bulan apabila Beijing bersikeras membungkam demokrasi Hong Kong.
Para pemrotes menginginkan reformasi politik dan digelarnya pemilihan demokratis sesuai standar internasional. Pada seruan Occupy Central, aksi protes sebenarnya baru akan dimulai pada 1 Oktober. Namun mereka memajukan jadwal, setelah aksi protes para pelajar, akhir pekan lalu.
Mahasiswa dan pelajar telah memulai aksi protes, sejak 22 September, dimulai dengan memboikot jam pelajaran. Pada Jumat, 26 September, mahasiswa dan pelajar menduduki gedung utama pemerintah yang memicu ketegangan,
Tuntutan demokrasi terutama muncul dari kalangan pelajar, mahasiwa dan akademisi. Tokoh dibalik Occupy Central antara lain Benny Tai, seorang profesor hukum. Juga Profesor Sosiologi Chan Kin-man dan rohaniwan Chu Yiu-ming.
Banyak partai politik Hong Kong sebelumnya berbeda pendapat dalam menanggapi gerakan pro-demokrasi. Sebagian partai mendukung reformasi yang lebih lunak, namun keputusan NPCSC telah menyatukan banyak partai.
Pembatasan kandidat untuk pemilihan Kepala Eksekutif, serta seleksi yang mengharuskan kandidat mendapat dukungan dari Beijing, dinilai tidak demokratis dan tidak dapat diterima.
Di kelompok pelajar, Alex Chow dan Lester Shum memimpin Federasi Pelajar Hong Kong, serta Joshua Wong memimpin gerakan mahasiswa. Ketiganya ditahan saat para pelajar mulai turun ke jalan menggelar protes.
Dibatalkannya kebijakan setelah aksi protes besar di Hong Kong pada 2003, memperlihatkan pengaruh besar aksi protes pada keputusan Beijing. Namun yang dituntut kali ini adalah hal yang dianggap sangat sensitif bagi Beijing.
Menuntut penerapan penuh demokrasi akan menjadi perubahan radikal di Hong Kong, yang dilihat Beijing sebagai tantangan bagi otoritas mereka. Hong Kong adalah kota dengan publik yang cenderung konservatif dalam menyikapi persoalan politik. Banyak yang lebih memilih stabilitas ekonomi dan menolak aksi protes menentang Beijing.
Sebuah jajak pendapat, akhir 2013, memperlihatkan lebih dari 70 persen responden dengan pendapatan kurang dari USD 10.000 menentang gerakan pro-demokrasi. Demikian juga dengan 80 persen responden berusia lebih dari 70 tahun.
Pendukung gerakan demokratisasi terutama berasal dari kalangan pelajar dan mereka yang berpenghasilan lebih dari USD 100.000.
Aksi protes besar direncanakan Occupy Central pada 1 Oktober, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan China. Hung Ho-fung dari Universitas John Hopkins, menyebut biasanya aksi protes harus dengan persetujuan polisi.
"Kali ini pemrotes akan menggunakan ketidak patuhan sipil dan membangun barikade-barikade. Di masa lalu, demonstrasi akan dilakukan tanpa mengganggu kehidupan sehari-hari, tapi kali ini mereka sungguh tidak peduli. Saya belum pernah melihat yang seperti ini dalam sejarah Hong Kong," kata Hung.
Hung memperingatkan bahwa Beijing telah menempatkan diri di posisi tersudut dan sulit untuk mundur lagi. "Saya kira ini (demonstrasi) diluar ekspektasi Beijing, bahwa Hong Kong akan menolak dan terprovokasi dengan keputusan Beijing," ucapnya.
Hung memperkirakan bahwa China akan menggunakan para loyalis Beijing untuk memobilisasi kontra argumen. Media massa China, Senin, 29 September, mengeluarkan kecaman pada pengunjuk rasa.
Gerakan anti demokratisasi dimotori oleh para pejabat pemerintah Hong Kong dan China. Ditulis BBC, aksi protes digelar kelompok pendukung Beijing juga diikuti ribuan orang, memicu kekhawatiran bahwa Beijing akan menggunakan massa tandingan untuk menghadapi demonstrasi.
Laman The Guardian juga menulis sejumlah kelompok anti Occupy Central telah disiapkan. Pemerintah Hong Kong, Senin, mengatakan telah menarik mundur polisi anti huru-hara dan meminta demonstran untuk membubarkan diri.
Pengerahan massa pro-Beijing diyakini akan dilakukan, untuk membuat publik Hong Kong mempertimbangkan kemungkinan bentrok antar massa pendukung, serta berpikir ulang sebelum memutuskan turun ke jalan pada 1 Oktober.
Kekhawatiran China
Partai Komunis China tidak menginginkan gerakan apa pun yang menantang otoritas Beijing, terutama menghindari meluasnya kampanye pro-demokrasi hingga ke China. Para pemimpin China khawatir gerakan demokrasi di Hong Kong akan menjadi dasar tuntutan serupa di wilayah lain, menyebabkan perpecahan negara.
"Beijing membuat kalkulasi bukan hanya berdasar apa yang mereka lihat di Hong Kong, tapi kekhawatiran nyata mereka tentang kemungkinan revolusi di China," kata Jonathan Pollack, pakar China dari Institut Brookings.
"Itu adalah hal-hal yang mengagitasi lebih besar dari masalah lainnya, yang menjelaskan tentang keputusan Beijing (tentang pemilihan langsung di Hong Kong)," kata Pollack. Presiden China Xi Jinping diyakini khawatir dengan runtuhnya Uni Soviet dan "revolusi berwarna" yang menggulingkan rezim di Soviet.
Editor ekonomi untuk SCMP, George Chen, yang tengah mengikuti program beasiswa di Universitas Yale, Amerika Serikat (AS), memperingatkan bahwa prinsip "satu negara, dua sistem" ada dalam resiko berakhir dengan meningkatnya intervensi secara langsung atau tidak dari Beijing.
Menurut Chen, China khawatir jika demokrasi bergaya Barat di Hong Kong akan menjadi contoh menarik bagi pendukung gerakan demokrasi di China, terutama di kota-kota yang telah berkembang pesat seperti Guangzhou dan Shanghai, di mana kelas menengah memiliki keinginan kuat untuk adanya keadilan sosial dan reformasi politik.
"Kebebasan yang diberikan pada Hong Kong untuk memilih kandidat tanpa melalui persetujuan Beijing, akan berdampak pada wilayah China lainnya," kata Chen.
Direktur Eksekutif Pusat Forum Pasifik untuk Studi Strategi dan Internasional, Brad Glosserman, mengatakan Partai Komunis China tidak akan memberi toleransi pada setiap upaya reformasi, yang akan menantang otoritas, legitimasi dan kemampuan Beijing untuk mengendalikan seluruh wilayah.
Tik Chi-yuen, mantan legislator dari Partai Demokratik mendesak pemerintah dan pemrotes melakukan dialog. "Pemerintah tidak semestinya mengambil langkah mudah membersihkan pemrotes dengan kekuatan koersif polisi," kata Tik.
"Berdasarkan pengalaman saya dengan gerakan sosial, tindakan keras oleh polisi tidak akan membantu meredakan polarisasi di masyarakat," ucap Tik. Muncul spekulasi apakah China akan terlibat langsung untuk menghentikan demonstrasi di Hong Kong, jika merasa tidak puas dengan cara pemerintah setempat mengatasi persoalan.
Pengamat menilai pengerahan militer China ke Hong Kong hanya akan menjadi upaya terakhir. Langkah paling mungkin yang dilakukan China adalah dengan menekan pemerintah Hong Kong agar menyelesaikan persoalan, termasuk dengan kekuatan polisi dan massa tandingan.
Untuk memungkinkan pemilihan langsung pada 2017, pemerintah Hong Kong harus memberikan proposal rencana reformasi politik pada Dewan Legislatif Hong Kong. Partai-partai pro-demokrasi yang saat ini menguasai mayoritas kursi berjanji akan menggunakan veto, menolak setiap proposal yang berdasarkan pada kebijakan Beijing.
Tapi dengan begitu, Hong Kong tetap tidak akan dapat merubah keinginan Beijing. Pemilihan langsung tidak dapat dilakukan dan pemilihan kepala eksekutif pada 2017 tetap akan menggunakan cara seperti sebelumnya. Di mana sebuah komite terdiri dari 1.200 anggota yang mayoritas pro-Beijing akan memilih kepala eksekutif.
Kepala Eksekutif Hong Kong Leuung Chun-ying, mengatakan bahwa pemerintah menentang gerakan Occupy Central dan polisi akan menangani situasi sesuai dengan hukum yang berlaku. Leung mengatakan pemerintah Hong Kong tidak memiliki hak untuk meminta NPCSC untuk membatalkan keputusan.
"Hong Kong adalah demokrasi dalam konsep satu negara dan dua sistem. Hong Kong bukan demokrasi yang dapat berdiri sendiri," kata Leung. Dia menambahkan jika pemerintah memutuskan proses konsultasi reformasi politik lagi, tidak akan cukup waktu menyusun kerangka untuk pemilihan langsung pada 2017.
Menurutnya kerangka pemilihan langsung yang telah disetujui NPCSC mungkin tidak ideal, tapi telah lebih baik daripada yang berlaku saat ini. Occupy Central dan kelompok pro-demokrasi lain di Hong Kong diyakini akan memprioritaskan upaya mendesak Leung untuk mundur dari jabatan.
Tuntutan itu dianggap lebih mudah dicapai dari pada membatalkan keputusan NPCSC terkait pemilihan langsung. Namun hal paling penting telah diraih, yaitu momentum untuk menyatukan aktivis.(viva.co.id)
0 komentar:
Post a Comment