Uni Eropa Yakini UU Hak Cipta Tak Sesuai Lagi dengan Era Digital
Foto detik.com
Suarasitaronews.com - Den Haag : Undang-undang mengenai hak cipta (copyright) atau hak
atas kekayaan intelektual saat ini perlu diperbarui, sebab sudah tidak
sesuai lagi dengan era digital.
Peraturan di Eropa mengenai hak
cipta terbilang cukup baru, namun perkembangan cepat di bidang teknologi
membuat perangkat hukum ini tertinggal. Para wakil rakyat Uni Eropa di
Brussel kini mencurahkan perhatian untuk memperbaruinya. Bagaimana di
Senayan?
"Peraturan hak cipta sudah tertinggal dengan dunia
teknologi saat ini. Sebagai contoh, konsumen kadang ditolak untuk
mengakses suatu konten online karena negara tempat mereka tinggal,"
demikian siaran pers Parlemen Eropa.
Anggota partai Jerman Hijau
(EFA) Julia Reda membuat laporan mengenai hak cipta sebagai masukan
proposal Komisi Eropa untuk memperbarui undang-undang saat ini.
Dalam
laporannya itu Reda menganalisis pedoman pelaksanaan masyarakat
informasi bersumber dari tahun 2001 dan membuat rekomendasi bagaimana
menyesuaikannya agar cocok dengan era digital kini.
"Ketika pedoman ini disusun belum ada telepon pintar atau YouTube atau Facebook," ujar Reda.
Reda
juga menunjukkan bahwa pertukaran konten lintas negara yang dilindungi
hak cipta telah meningkat secara signifikan sejak pedoman 2001 itu
diberlakukan.
Parlemen Eropa akan membahas laporan tersebut dan melakukan pemungutan suara setelah itu pada hari ini, Kamis (9/7).
Inti Laporan
Dari 507 juta warga Eropa saat ini, sebanyak 315 juta orang aktif menggunakan internet setiap hari.
Konsumen
mencoba membeli barang atau jasa secara online namun gagal, sebab
vendornya tidak melayani negara tempat konsumen tinggal (52%). Kebijakan
geo-blocking ini, yakni manakala perusahaan menyetop konsumen di negara
lain dari menggunakan layanan online, seringkali tanpa pembenaran.
Temuan
lain, masyarakat tertarik menonton atau mendengarkan konten online dari
negara lain (19%); menyiarkan streaming film atau serial TV dan mencoba
mengakses layanan streaming dari negara mereka sendiri ketika mereka
sedang di luar negeri (31%); berapa dari mereka yang tak bisa mengakses
konten ketika sedang di luar negeri (43%).
Masyarakat yang
melakukan streaming langsung suatu acara dan mencoba mengakses layanan
streaming dari negara mereka sendiri saat mereka sedang di luar negeri
(38%); berapa dari mereka yang tak bisa mengakses konten ketika sedang
di luar negeri (51%).
Laporan ini menekankan bahwa konten yang
dilindungi oleh hak cipta juga harus dapat diakses lintas batas.
Misalnya, geo-blocking seharusnya juga tidak menghalangi budaya
minoritas untuk mengakses konten atau layanan dalam bahasa mereka
sendiri.
Namun demikian laporan itu juga menggarisbawahi
pentingnya lisensi teritorial, terutama untuk pembiayaan produksi audio
visual dan film.
Kebebasan panorama berarti masyarakat memiliki
hak untuk membuat dan berbagi gambar dan foto bangunan umum tanpa harus
mengkompensasi untuk penggunaan hak cipta. Kebebasan ini sudah ada di
beberapa negara Uni Eropa, tetapi belum semua.
Laporan ini juga
menyerukan sejumlah pengecualian dan pembatasan, misalnya untuk tujuan
penelitian dan pendidikan. Ini terutama harus berlaku untuk online dan
kegiatan lintas batas, seperti program pertukaran sekolah, juga
peminjaman e-buku oleh perpustakaan. (detik.com)