Dirno Khago |
Suarasitaronews.com-Manado : Kongres PDIP yang di gelar di bali telah memilih Megawati secara Aklamasi untuk kembali menjadi "Banteng terkuat" dalam menjalankan kepemimpinan di tubuh partai tersebut. Berbagai pandangan yang berasal dari Akademisi dan masyarakat pun muncul.
Yuk!! kita simak tulisan dari Seorang Dosen Sospol Manado Sulawesi utara.
Puluhan tahun Megawati menakhodai Partai berlogo banteng, ia sendiri
merasakan bagaimana getirnya demokrasi yang tak sejiwa dengan bangsa.
Yaitu demokrasi yang berlandaskan pada permusyawaratan.
PDI Perjuangan
dalam sejarahnya, menjalankan mekanisme voting dari tingkatan struktur
paling bawah (Anak Ranting dan Ranting) dalam setiap pengambilan
keputusan.
Metode demokrasi ala barat itu dievaluasi. Hasilnya, PDI Perjuangan bertahun-tahun memelihara konflik struktural. Intensitas
konflik internal bertumbuh dan menyebar ke seluruh tubuh partai.
Sementara tujuan partai untuk merebut kekuasaan sulit digapai. Karena
dalam mekanisme demokrasi yang demikian, kebersamaan sulit diwujudkan.
Kepercayaan antar individu dan kelompok sulit dipelihara. Nilai-nilai
dan norma-norma sering tidak dipatuhi. Tokoh sentral tidak berperan
menjadi perekat. Singkatnya, modal sosial lemah.
Diperlukan perubahan anggaran dasar, untuk kembali selaras dengan jiwa
demokrasi Indonesia. Yaitu jiwa Gotong Royong (kebersamaan) yang di
dalamnya terdapat patron klien sebagai simbol perekat yang mampu
memelihara kemapanan. Perubahan paradigma itu sudah saatnya diperlukan.
Selagi kekuasaan sudah berhasil diraih. Itulah alat pemertahanan sistem
agar PDI Perjuangan dapat mempertahankan kekuasaan.
Para kritikus banyak yang menilai, bahwa demokrasi di tubuh PDI Perjuangan sudah luntur. Tetapi sesungguhnya, mereka lupa satu hal ini.
(Penulis Dirno Khago)
Para kritikus banyak yang menilai, bahwa demokrasi di tubuh PDI Perjuangan sudah luntur. Tetapi sesungguhnya, mereka lupa satu hal ini.
(Penulis Dirno Khago)
0 komentar:
Post a Comment