Foto Ilustrasi |
Suarasitaronews.com-Jakarta: Kesempatan, untuk memberikan hak suara bagi seluruh warga Indonesia sangat terbuka luas melalui Undang-Undang (UU) Pemilu kepada masyarakat untuk bisa memlih dalam Pemilu. Kesempatan itu
tidak hanya diberikan kepada mereka yang terdaftar dalam DPT, tetapi juga
kepada masyarakat yang gagal didaftar oleh penyelenggara.
Menurut Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma), Said Salahuddin, ada dua kategori untuk pemilih tidak terdaftar atau yang diistilahkan oleh KPU sebagai pemilih khusus. Pertama, pemilih khusus beridentitas. Pemilih pada kategori ini adalah mereka yang memiliki identitas kependudukan dan dipersyaratkan untuk menunjukan KTP kepada KPPS saat akan menggunakan hak pilihnya di TPS.
Kedua, lanjutnya, pemilih khusus tanpa identitas. Mereka ini adalah warga yang tidak memiliki KTP. UU tetap menjamin kepada mereka untuk menggunakan hak pilihnya.
Oleh KPU, pemilih pada kategori ini hanya dipersyaratkan untuk mendapatkan surat keterangan dari kepala desa atau lurah.
Problemnya, kata Said, surat keterangan itu rawan penyimpangan. Kepala desa dan lurah bisa memanfaatkan kewenangan mengeluarkan surat keterangan tersebut untuk memobilisasi masyarakat.
"Surat keterangan itu kan bisa dibuat dalam hitungan menit. Berbeda dengan KTP yang pembuatannya memerlukan waktu yang relatif lama. Pemilih yang telah memiliki identitas pun bisa dengan mudah mengaku bahwa dirinya belum memiliki KTP," jelas Said.
Celah inilah, simpul Said, yang bisa dimanfaatkan oleh kepala desa dan lurah. Masyarakat bisa digerakan, dikumpulkan, dipindahkan, serta digiring untuk memberikan suara, baik di TPS-TPS yang ada di desa dan kelurahan bersangkutan atau ke TPS-TPS diwilayah yang lain, berbekal surat keterangan yang dibuat oleh kepala atau lurah itu.
"Ini sangat mungkin terjadi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lurah, khususnya kepala desa, seringkali digunakan oleh partai politik dan para calon sebagai mesin keruk suara pemilih dalam setiap Pemilu," demikian kata Said. (Berita Kawanua.com)
Menurut Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma), Said Salahuddin, ada dua kategori untuk pemilih tidak terdaftar atau yang diistilahkan oleh KPU sebagai pemilih khusus. Pertama, pemilih khusus beridentitas. Pemilih pada kategori ini adalah mereka yang memiliki identitas kependudukan dan dipersyaratkan untuk menunjukan KTP kepada KPPS saat akan menggunakan hak pilihnya di TPS.
Kedua, lanjutnya, pemilih khusus tanpa identitas. Mereka ini adalah warga yang tidak memiliki KTP. UU tetap menjamin kepada mereka untuk menggunakan hak pilihnya.
Oleh KPU, pemilih pada kategori ini hanya dipersyaratkan untuk mendapatkan surat keterangan dari kepala desa atau lurah.
Problemnya, kata Said, surat keterangan itu rawan penyimpangan. Kepala desa dan lurah bisa memanfaatkan kewenangan mengeluarkan surat keterangan tersebut untuk memobilisasi masyarakat.
"Surat keterangan itu kan bisa dibuat dalam hitungan menit. Berbeda dengan KTP yang pembuatannya memerlukan waktu yang relatif lama. Pemilih yang telah memiliki identitas pun bisa dengan mudah mengaku bahwa dirinya belum memiliki KTP," jelas Said.
Celah inilah, simpul Said, yang bisa dimanfaatkan oleh kepala desa dan lurah. Masyarakat bisa digerakan, dikumpulkan, dipindahkan, serta digiring untuk memberikan suara, baik di TPS-TPS yang ada di desa dan kelurahan bersangkutan atau ke TPS-TPS diwilayah yang lain, berbekal surat keterangan yang dibuat oleh kepala atau lurah itu.
"Ini sangat mungkin terjadi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lurah, khususnya kepala desa, seringkali digunakan oleh partai politik dan para calon sebagai mesin keruk suara pemilih dalam setiap Pemilu," demikian kata Said. (Berita Kawanua.com)
0 komentar:
Post a Comment