Makam Raja Makaampo |
Peristiwa ini dikenang dalam nyanyian rakyat
(sasambo): Pili i Ambala sarang batu weka, HengkengUnaung limuhum sebune,
Nanentan bara’ e gare, Pinahun tika menda.
Dalam Bahasa Indonesia artinya: Pedang Ambala sampai
ke batu belah, HengkengUnaung mengelilingi buihnya, Mengangkat pedang belanal,
yang dikiranya pedang sungguhan.
Setelah pertempuran, kepala Makaampo dipisahkan dari
badannya dan dibawa dengan sorak sorai kemenangan ke Siau oleh panglima
HengkengUnaung. Setelah itu seorang panglima Tabukan berusaha ke Siau untuk
mengmbil kembali kepala Makaampo.
Oleh sebab itu timbul lagi nyanyian rakyat (sasambo):
Nebua’ bo’en Tabukan, benteng bo’en dingo’e, Tarai’ sarang Siau, memona’e
Karangetang, Tarai’ mangala’ tembo’ masaghiwu’ etangulu, Tembo’ i ratu
Wawengehe’ tanggulu’ en Makaampo, Enae’ bawaeng saghenaung sarang Moade i
wentan balan Manuwo.
Dalam bahasa Indonesia berarti: Berangkat dari
Tabukan, mengangkat kiriman, Pergi ke Siau, menuju Karangetang, Pergi mengambil
kepala, membawa tengkorak, Kepala raja Bawengehe, tengkoraknya Makaampo, untuk
dibawa ke Salurang (Moade) untuk dikubur di Manuwo.
Usaha ini gagal karena panglima Ambala membawa kepala
tersebut ke Mengga’e dan menguburnya di Mengga’e yang sekarang dikenal dengan
nama Menggawa. Peristiwa ini mengakibatkan hubungan Tabukan dan Siau menjadi
tegang.
Makaampo, nama lengkapnya Makaampo Bawengehe, adalah
raja pertama kerajaan Tabukan, memerintah dari tahun 1600 sampai tahun 1620.
Ayahnya bernama Kulano Tangkuliwutan dan ibunya bernama Nabuisan. Makaampo
sebagian berdarah Mindanao karena neneknya (dari ibu) Sarah Maria berasal dari
Mindanao.
Makaampo terkenal sebagai seorang yang bertubuh besar
dan pemberani. Ia pernah terlibat dalam perkelahian dengan pamannya. I berhasil
memenggal kepala pamannya itu, tetapi ia dikejar oleh keluarga dan orang-orang
dari Soa Tebe lalu ia melarikan diri ke Talaud. Di sana ia bersembunyi di atas
pohon Talise yang tinggi berdaun lebar, namun ia ketahuan dan tertangkap lalu
dibawa ke Soa Tebe.
Makaampo dikenal juga sebagai seorang playboy. Ia
membawa lari dua gadis kakak beradik untuk dijadikan istri. Ia dikejar dan ia
bersembunyi di lereng dekat kepundan gunung Awu. Di sana ada batu besar
menyerupai meja, ia tinggal di kolong batu itu. Ia merasa aman, karena bila ada
yang datang ia cukup mengelindingkan batu dan orang yang menghampirinya akan
kena batu itu. Sampai sekarang batu itu dinamai batu Makaampo. Menurut
kepercayaan, jika batu itu terlempar ke laut maka laut akan bergelombang
menimbulkan tsunami yang akan menghamtam Kempar, Tahuna, Manganitu dan Tamako.
Peristiwa pembunuhan Makaampo terjadi ketika Siau
berada dibawah pimpinan raja Winsulangi (1612-1624). Peristiwa ini tidak lepas
dari pergolakan politik. Kerajaan-kerajaan di Sangihe Talaud, yaitu Tabukan,
Manganitu, Tahuna, Siau, Tagulandang dan Kendar saling memperluas kekuasaan,
dengan saling berperang atau saling kawin mawin antara raja-raja itu. Saat itu
pengaruh luar pun sangat menentukan. Portugis, Spanyol dan VOC (Belanda) saling
merebut simpati raja-raja demi mendapatkan pala dan cengkeh yang saat itu
sangat mahal harganya. Disamping itu agama pun saling berlomba-lomba. Katolik
dibawa oleh Portugis dan Spanyol, Protestan oleh VOC (Belanda) sedang Islam
oleh Mindanao dan Ternate.
Adalah Winsulangi orang Sangihe Talaud pertama yang
memeluk agama Kristen. Ia dibaptis oleh Pastor Diego Magelhaens dan diberi nama
Don Jeronimo Winsulangi. Setelah itu berangsur-angsur seluruh Sangihe Talaud,
kecuali Kendar memeluk agama Katolik. Nama-nama raja pun memakai nama Katlik.
Ketegangan antara Siau dan tabukan berangsur-angsur reda setelah Winsulangi
mengambil permaisurinya dari Salutang/Tabukan yang bernama TihuwangSompe.
Tahun 1642, raja Winsulangi diganti oleh anaknya Don
Harvius Fransisco Batahi yang memerintah sampai tahun 1678. dalam peperangan
antara Spanyol/Portugis melawan VOC Belanda, Spanyol dan Portugis kalah, lalu
VOC Belanda mengharuskan seluruh Sangihe Talaud memeluk agama Protestan. Hal
ini dituangkan dalam perjanjian tanggal 9 Nopember 1677 di ternate yang
ditandatangani oleh gubernur Jenderal Padtburg dari VOC Belanda dan dari
raja-raja Batahi dari Siau, Aralung Nusa Philips Antoni dari Tagulandang, Vasco
da Gama dari Tabukan serta Diamanti dari Manganitu.
Hubungan Tabukan dan Siau menjadi bertambah erat lagi
ketika raja Batahi mengambil sebagai permaisuri, Maimuna dari Tabukan yang
adalah keturunan ke empat dari Makaampo Bawengehe. Perkenalan Batahi dengan
Maimuna terjadi di Ake Sembeka, Ulu Siau ketika Maimuna dalam perjalanannta ke
Ternate, mampir untuk mandi di sana. Maimuna terkenal dengan kecantikannya. Ia bertubuh
putih bersih dan Batahu tertarik padanya sehingga ia meminta agar Maimuna
bersedia menjadi istrinya. Pada pernikahan mereka, raja Vasco da Gama, kakek
Maimuna, yang adalah keturunan kedua dari Makaampo, menghadiahkan pulau di
Talaud, yaitu Salengker dan Kabaruan kepada cucunya. Sebagai ungkapan syukur,
anak dari raja Batahi dan permaisuri Maimuna diberi nama RarameNusa yang
berarti Pendamai Nusa. Sumber. ***KNSU*** (Erga)
0 komentar:
Post a Comment