Chriseyvel Eka Candra Kahiking |
Suarasitaronews.com-Siau : Rasa empati bagi para tenaga pendidik oleh seorang putra Sitaro Chriseyvel Eka Candra Kahiking yang juga adalah tenaga guru SM3T, di tuangkan dalam satu buku yang di tulisnya sangat menggambarkan bagaimana seorang guru itu melakukan pelayanan pendidikan dengan menelusuri seluruh pelosok negeri untuk menciptakan anak-anak yang akan menjadi tulang punggung bangsa dan negara.
Apalagi saat ini indonesia di kejutkan dengan berbagai tragedi yang menimpa anak-anak didik di beberapa sekolah ternama. ia pun sangat merasa prihatin dengan hal tersebut, sehingga, di tuliskanya dalam sebuah buku, untuk para guru agar tetap berpegang pada kebaikan.
"Perbuatan Baik dari seorang guru, adalah penentu suksesnya anak-anak kita. sebab, apa yang telah kita ajarkan, maka itu akan menjadi panutan mereka" ujar Kahiking pada Suarasitaronews.com Senin, (5/5) siang tadi.
Berbagai sumber pun telah ia pelajari untuk penulisan bukunya tersebut, dengan harapan, agar para pahlawan tanpa tanda jasa itu tetap tegar dan semangat untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih cerdas dan berkualitas. berikut separuh buku yang di tulis oleh putra kelahiran Sitaro itu.
RENUNGAN BAGI SANG GURU
Dalam perjalanan hidup menjadi seorang guru di negeri orang,
sungguh sangat dirasakan betapa guru dihargai setinggi – tingginya ketika
berbuat kebaikan dan kebenaran lalu disangsikan ketika ia berbuat salah. Saya
ingin memberikan perenungan pada diri saya sendiri dan kepada semua sahabat
guru yang pernah mencoba menggali jati diri menjadi guru, atau yang telah
menemukan jati dirinya sebagai guru, bahkan kepada mereka yang hanya menjadi
guru karena persoalan ekonomi semata.
Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan
Tertinggal, SM3T bagi saya bukanlah wadah untuk mencari gelar guru professional
apalagi hanya menginginkan sertifikat pendidik sebagai modal untuk memperoleh
gaji sertifikasi. SM3T bukanlah wadah para guru yang dulunya bekas mahasiswa
lalu mengimpikan masuk di program ini sekedar jalan – jalan dan jadi turis
domestik di daerah orang.
SM3T adalah wadah kelahiran guru yang ingin menciptakan
generasi yang mampu menjalani kehidupan mereka sendiri. Kita sebagai guru terperangkap
dalam primordialisme bahwa oleh sertifikasi, dan karena tunjangan – tunjangan
melimpah, lalu kita dihargai, dan kita dihormati. Kesinambunganya adalah ruang
kerja kita sebagai guru dibatasi oleh kepentingan personal kita atas nama
profesionalisme. Jika mungkin tunjangan sertifikasi itu hilang, primordilaisme
kita berubah arah, dengan pertanyaan yang pragmatis, akankah kita dihargai?
Saya sungguh tidak menampik, dan sama sekali tidak menyombongkan diri dengan
mangatakan “tidak butuh uang sertifikasi atau tidak butuh gaji menjadi guru”
namun persoalanya kita dihargai bukan karena upah itu, tetapi karena kita sadar
bahwa lahan tempat kita bekerja adalah lahan paling mulia yang Tuhan karuniakan
kepada kita, yakni otak manusia.
Sekali lagi kita sedang mencari harga diri sebagai orang
professional. Mari kita lihat bagaimana profesionalnya seorang dosen, ketika
menjadikan mahasiswanya menjadi sarjana lalu menjadi seorang abdi Negara atau
pengusaha yang hebat. Kita tengok bagaimana hebatnya seorang dokter ketika ia
dapat menyembuhkan penyakit pasienya, dan kita lihat betapa piawainya seorang
pilot menerbangkan pesawatnya hingga selamat sampai tujuan, dan betapa hebatnya
seorang kapten kapal ketika mengemudikan kapalnya melewati goncangan ombak yang
kencang. Jika saya mengurutkanya produk – produk dari profesi di atas, bahwa
dosen, produknya adalah mahasiswa jadi sarjana, kemudian dokter produknya
adalah pasien yang sakit menjadi sembuh, lalu Pilot mendaratkan pesawatnya
dengan selamat, dan kapten melawan ombak lalu melabuhkan kapalnya dengan
selamat. Dan semua itu tentu memerlukan keahlian yang memadai dan kemampuan
serta kecakapan individu. Sekarang saya ingin bertanya, apakah produk kita
sebagai guru? Pantaskah kita mengatakan bahwa dosen,dokter, pilot, dan kapten
adalah produk kita? Sungguh masih sangat jauh dari jawaban sebenarnya. Atau
jika kita dengan sangat keras mencoba melawan
dengan adigium guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasah mencoba
menerobos, lalu mengatakan bahwa mereka semua hasil didikan kita. Maka pertanyaanya; betulkah kita pernah
mengarahkan mereka ke masa depan mereka sebagai dosen, atau sebagai pilot? Atau
sudakah di ruang – ruang belajar, kita mebangkitkan motivasi mereka agar tak
hanya menjadi manusia yang cerdas tapi menjadi manusia yang berguna? Apakah
pernah kita menghargai segala bentuk kekurangan mereka dengan tidak menghina,
tidak menghujat, bahkan tidak memukul ketika mereka dianggap bodoh, dan tidak
tahu apa – apa? Atau pernakah kita sebagai guru dan sebagai orang tua mengijinkan
anak kita, anak didik kita untuk menghendaki apapun yang menjadi cita – citanya
di masa depan? Saya rasa kita hanya membutuhkan jawaban masing – masing, tanpa
harus marah atau menyesal, atau kemudian menyalahkan saya ketika menanyakan hal
yang menyudutkan seperti ini. Sangat patut kita menjawab “Ya” jika kita pernah
menyentuh potensi mereka, jika kita pernah membuang keraguan mereka akan masa
depan, lalu mengubah mereka menjadi orang yang memiliki pijakan hidup di masa
mendatang.
Namun saya secara pribadi tidak perlu memberi jawaban karena
di dalam buku ini dari awal saya sedang berupaya untuk menjadi guru yang bukan
sesuai dengan tuntutan sertifikasi tetapi sesuai tuntutan idealisme seorang
guru yang akan memberikan semua yang ada dalam dirinya kepada anak didiknya,
meski menyadari masih begitu banyak kekurangan yang ada dalam diri saya.
Tetapi pada akhirnya yang saya dapatkan dari perjalanan
saya, tentang pertanyaan mengapa guru tidak dihargai? Jawabanya karena kita
tidak memiliki produk. Tentu saja produk yang dimaksud bukanlah RPP atau bahan
dengan berbagai macam metode modern yang kita kuasai. Produk kita adalah “Jati
diri”.
Karena itu kita dituntut untuk bertindak lebih massif untuk
mendekatkan diri secara personal dan emosional serta melakukan sentuhan
manusiawi dengan anak didik kita, yang dapat dianggap sebagai kawan, adik
maupun anak kita sendiri. Sudah cukup
kita menganggap mereka sebagai angka, sebagai nilai, atau sebagai kuantitas
dikala kita menuntut mereka menjadi pintar untuk bidang studi yang kita ajarkan
dan bukan memperlakuan mereka sebagai manusia yang memiliki banyak jati diri.
Lalu kita sebagai guru dengan metode apapun yang kita gunakan, secanggih
apapun, semuanya hanyalah semu jika kita tidak menemukan jati diti kita sebagai
guru. Guru yang bisa mengajar adalah guru yang memiliki rasa cinta yang dalam
dan murni terhadap anak didiknya.
Di sisi yang lain, pengabdian guru SM3T sebagai penguat
nilai kebangsaan terhadap jiwa nasionalisme kita yang kian luntur akan praktek
– prakter kotor yang sedang dipertontonkan, manakalah kita menganggap daerah
terpencil sebagai tempat sampah atau tempat buangan bagi guru – guru yang
bermasalah di daerah - daerah karena konflik kepentingan.
M3T lahir sebagai sebuah contoh untuk mempererat serta
merekat nilai kesatuan kita sebagai bangsa. Karena bangsa yang besar ini sedang
dipersatukan oleh pendidikan. Kita sedang diuji keesaan kita, mulai dari
perbedaan agama, perbedaan kebudayaan, dan perbedaan suku untuk disatukan dalam
suasana kebhinekaan yang teramat sempit ruangnya di seluruh pelosok desa, tanah
air 3T, dan kemudian menggebrak dan mengguncang Indonesia, dan dari hati yang
paling hakiki ada ajakan bagi seluruh guru di tanah air, baik guru 3T atau guru
yang bukan penghirup negeri 3T, untuk menyatukan gaung kita, menyalakan lentera
untuk menerangi negeri kita, dan kita tabuh gong penyemangat pendidikan untuk
mengguncang ibu pertiwi dan seluruh dunia dalam rangka menciptakan generasi
emas Indonesia, akhirnya saya mengakhiri renungan ini dengan berpijak pada
untaian kata seorang kata Nelson Mandela bahwa “Pendidikan adalah senjata yang paling tangguh yang dapat mengguncang
dunia”. Terimakasih SM3T
Sayonara Adonara, aku ingin Kembali
Selang setahun sudah saya mengenal bahkan masuk terlalu jauh kedalam untuk menggali makna tradisi sebagian masyarakat Adonara. Selain memperkaya diri sebagai asli orang timur Indonesia, juga mencari makna kehidupan yang sesungguhnya, yang kian lama tertindih oleh zaman yang terlampau mengajarkan segala sesuatu yang serba instan. Dari negeri yang penuh adat ini, saya belajar menghargai kekuatan alam semesta dan keyakinan akan hal itu. Adonara telah menjadi suatu mozaik dan paradoks di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Dengan kekuatan leluhurnya Sang Lewotana, yang mengajarkan kepada kita agar mencintai tanah tercinta ini tanah Adonara dengan sepenuh hati bukan setengah hati, atau jika menghina sang Lewotana, maka kekal abadilah hukuman badan itu. Hal ini seolah memberi teguran kepada siapa saja yang dengan sengaja atau tidak sengaja melupakan tanah kelahiranya dimanapun ia berada, dan memberi gambaran kepada kita semua sebagai sesama bangsa timur, bahwa filosofi mencintai tanah air harus dimulai dari tanah air yang paling kecil yaitu tanah kelahiran.
Terhadap dunia pendidikan yang telah menjadi sandaran pengabdianku selama kurun waktu ini, bahwa seorang guru telah meninggalkan pijakan kakinya di ruang belajar nan penuh kemuliaan itu. Saya sangat bersyukur atas karunia Tuhan kepada anak – anak suku penghuni negeri Lamaholot. Sesungguhnya mereka adalah generasi baru yang perlu dibekali tidak saja dengan pengetahuan intelektual tetapi juga pengetahuan menjalani kehidupan yang sesungguhnya di tanah Adonara. Ibarat Matahari yang hanya satu tapi mampu menerangi seluruh dunia bahkan bulan pun bersinar karena cahaya matahari, maka kiranya mereka menjadi seperti matahari yang dapat menjadi terang dan berguna bagi banyak orang. Takkan pernah kubiarkan deretan kata pujaan dan teguran mereka berlalu dariku, karena semuanya telah tersimpan, dan semuanya adalah bagian dari kenanganku bersama anak – anak suku yang sangat kucintai. Termikasihku kepada kalian, karena kalian, guru dimuliakan, dan karena kalian aku datang, dan harus kembali.
Akhirnya atas segala kesakralan adat tanah Adonara, atas perlindungan Sang Maha Kuasa dan Sang leluhur Lewotana yang telah melindungiku dari teriknya siang dan dinginya malam, yang telah menyelimutiku dengan sarung adatnya atau menjagaku dengan tombak runcingnya. Dan Akan desaku yang tercinta, akan mereka yang adalah suku asli pulau Adonara, dengan rasa syukurku aku berterimakasih karena tak ada tangan yang tak melambai, tak ada mulut yang tak menyapa, dan tak ada dibibir yang tak tersenyum. Semuanya indah dalam batin dan dalam kenanganku. Aku memang akan pergi, tapi aku ingin kembali. Sayonara Adonara. (Sumber Buku pesan dari Negeri Lamaholot) (erga)
Selang setahun sudah saya mengenal bahkan masuk terlalu jauh kedalam untuk menggali makna tradisi sebagian masyarakat Adonara. Selain memperkaya diri sebagai asli orang timur Indonesia, juga mencari makna kehidupan yang sesungguhnya, yang kian lama tertindih oleh zaman yang terlampau mengajarkan segala sesuatu yang serba instan. Dari negeri yang penuh adat ini, saya belajar menghargai kekuatan alam semesta dan keyakinan akan hal itu. Adonara telah menjadi suatu mozaik dan paradoks di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Dengan kekuatan leluhurnya Sang Lewotana, yang mengajarkan kepada kita agar mencintai tanah tercinta ini tanah Adonara dengan sepenuh hati bukan setengah hati, atau jika menghina sang Lewotana, maka kekal abadilah hukuman badan itu. Hal ini seolah memberi teguran kepada siapa saja yang dengan sengaja atau tidak sengaja melupakan tanah kelahiranya dimanapun ia berada, dan memberi gambaran kepada kita semua sebagai sesama bangsa timur, bahwa filosofi mencintai tanah air harus dimulai dari tanah air yang paling kecil yaitu tanah kelahiran.
Terhadap dunia pendidikan yang telah menjadi sandaran pengabdianku selama kurun waktu ini, bahwa seorang guru telah meninggalkan pijakan kakinya di ruang belajar nan penuh kemuliaan itu. Saya sangat bersyukur atas karunia Tuhan kepada anak – anak suku penghuni negeri Lamaholot. Sesungguhnya mereka adalah generasi baru yang perlu dibekali tidak saja dengan pengetahuan intelektual tetapi juga pengetahuan menjalani kehidupan yang sesungguhnya di tanah Adonara. Ibarat Matahari yang hanya satu tapi mampu menerangi seluruh dunia bahkan bulan pun bersinar karena cahaya matahari, maka kiranya mereka menjadi seperti matahari yang dapat menjadi terang dan berguna bagi banyak orang. Takkan pernah kubiarkan deretan kata pujaan dan teguran mereka berlalu dariku, karena semuanya telah tersimpan, dan semuanya adalah bagian dari kenanganku bersama anak – anak suku yang sangat kucintai. Termikasihku kepada kalian, karena kalian, guru dimuliakan, dan karena kalian aku datang, dan harus kembali.
Akhirnya atas segala kesakralan adat tanah Adonara, atas perlindungan Sang Maha Kuasa dan Sang leluhur Lewotana yang telah melindungiku dari teriknya siang dan dinginya malam, yang telah menyelimutiku dengan sarung adatnya atau menjagaku dengan tombak runcingnya. Dan Akan desaku yang tercinta, akan mereka yang adalah suku asli pulau Adonara, dengan rasa syukurku aku berterimakasih karena tak ada tangan yang tak melambai, tak ada mulut yang tak menyapa, dan tak ada dibibir yang tak tersenyum. Semuanya indah dalam batin dan dalam kenanganku. Aku memang akan pergi, tapi aku ingin kembali. Sayonara Adonara. (Sumber Buku pesan dari Negeri Lamaholot) (erga)
0 komentar:
Post a Comment