SUARASITARONEWS.COM : Kampung Wisata Batuputih. Saya coba menarik sisi positif dari kejadian yang terjadi di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, dimana ketika media secara intens menulis pemberitaan mengenai masalah ini, mata masyarakat Sulawesi Utara dan Kota Bitung
tertuju di sebuah kampung yang sesungguhnya telah menjadi primadona di
Sulawesi Utara dan Kota Bitung sejak dulu kala, dimana Batuputih
memiliki asset alam yang luar biasa yaitu TWA Batuputih. Dalam memori
saya, memiliki kesan yang tidak dapat saya lupakan sejak saya masih
kanak-kanak, tatkala saya menyaksikan puluhan wisatawan yang
berbondong-bondong menuju kampung Batuputih menggunakan mobil “Rambo”
yang sering transit di Kelurahan Girian. Meskipun sekarang saya tidak
bisa melihat lagi aktifitas seperti itu di Girian, tapi saya tau bahwa
volume wisatawan asing maupun lokal tetap saja menyerbu Kampung
Batuputih sampai hari ini.
Sekilas Tentang Kampung Wisata Batuputih
Taman Alam Batuputih meliputi area seluas 615 hektar dan merupakan
sarana cocok untuk berkemah, kegiatan outbound dan relaksasi oleh
pantai. Karena TWA Batuputih yang paling sering dikunjungi oleh
wisatawan, dari empat kawasan konservasi di Tangkoko. Selain TWA
Batuputih, terdapat juga Taman Nasional Batuangus dengan luas total
3.196 hektar, yang meliputi Gunung Tangkoko Batuangus dan sekitarnya
yang merupakan Taman Nasional dengan luas total 4.299 hektar (meliputi
Gunung Duasaudara dan sekitarnya), dan Batuangus Taman Nasional dengan
635 hektar (terletak di antara Taman Nasional Tangkoko
dan Desa Pinangunian. Kehidupan satwa liar di kawasan Tangkoko sudah
diketahui secara luas dan dikunjungi oleh Alfred Russel Wallace pada
tahun 1861.
Di Tangkoko, Wallace mengumpulkan spesimen babi rusa dan maleo yang
waktu itu sangat mudah dijumpai. Ketika itu, pasir hitam di pantai
Tangkoko merupakan tempat bersarang dan penetasan telur maleo. Akibat
eksploitasi oleh penduduk setempat, koloni maleo di pantai Tangkoko
tidak lagi ditemukan pada tahun 1915, dan hanya tersisa sejumlah kecil
koloni di pedalaman. Kawasan Tangkoko pertama kali ditetapkan Pemerintah
Hindia Belanda sebagai hutan lindung pada tahun 1919 berdasarkan GB
21/2/1919 stbl. 90, dan diperluas pada tahun 1978 dengan ditetapkannya
Cagar Alam Duasudara (4.299 hektare) berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 700/Kpts/Um/11/78. Pada 24 Desember 1981, Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 1049/Kpts/Um/12/81 menetapkan kawasan ini sebagai
Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus. Surat keputusan yang sama
menetapkan kawasan seluas 615 hektare di antara Cagar Alam Tangkoko dan
Kelurahan Batuputih sebagai TWA Batuputih, dan kawasan seluas 635
hektare di antara Cagar Alam Tangkoko dan Desa Pinangunian sebagai Taman
Wisata Alam Batuangus. Kawasan ini memiliki topografi landai hingga
berbukit yang terdiri dari hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan
pegunungan, dan hutan lumut.
Di kawasan ini terdapat dua puncak gunung: Gunung Tangkoko (1.109 m)
dan Gunung Dua Saudara (1.109 m), serta Gunung Batuangus (450 m) di
bagian tenggara. Di sebelah timur laut terdapat Dataran Tinggi Kawasan
ini termasuk zona iklim B, dengan curah hujan sebesar 2.500-3.000 mm per
tahun, suhu rata-rata antara 20 °C dan 25 °C. Musim kemarau berlangsung
dari April hingga November, dan musim hujan dari November hingga April.
Di kawasan Taman Wisata Batuputih terdapat tumbuhan pantai seperti
ketapang, bitung, pandan, jati, dan mahang (Macaranga), dan hewan
seperti Monyet hitam sulawesi (Macaca tongkeana), tarsius (Tarsius
spectrum), kuskus (Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus
celebensis), anoa, tupai (Tupaia sp), musang sulawesi (Macrogalidia
musschenbroekii).
Pada tahun 1980 dicatat sejumlah 140 spesies burung, termasuk burung
tahun (Rhythitceras cassidix) dan maleo (Macrocephalon maleo) yang
endemik Sulawesi Spesies lain di antaranya pergam hijau (Ducula aenea),
srigunting jambul-rambut (Dicrurus hottentottus), jalak tunggir-merah
(Scissirostrum dubium), raja-udang pipi-ungu (Cittura cyanotis), udang
merah sulawesi (Ceyx fallax), celepuk sulawesi (Otus manadensis),
rangkok sulawesi (Penelopides exarhatus). Jenis reptilia dan ular yang
dijumpai adalah ular sanca kembang (Python reticulatus), kobra (Naja
naja), ular anang (Ophiophagus hannah), Tropidolaemus wagleri, soa-soa
(Hydrosaurus amboinensis), biawak indicus (Varanus indicus), dan cicak
terbang sayap merah (Draco sp.)Satwa laut di antaranya penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys).
Berbagai ilmuan yang datang dari berbagai belahan negara membuat
Taman Cagar Alam Tangkoko telah dikenal luas di dunia, dengan tujuan
untuk meneliti berbagai hayati. Salah satunya, monyet terkecil di dunia
atau Tarsius. Antje Engelheardt, peneliti dari Macaca Nigra Project yang
berbasis di Tangkoko, mengatakan, populasi macaca nigra di habitat asli
hanya 5.000 ekor, tersebar di Sulut. Sekitar 2.000 di Cagar Alam
Tangkoko.
Di seluruh dunia, macaca ada 23 spesies. Tujuh spesies berada di
Indonesia, yakni di Sulawesi. Khusus macaca nigra, hanya di Sulut. Tentu
ini adalah sebuah daya tarik tersendiri yang dimiliki oleh batuputih
dan sekitarnya. Batuputih tidak saja memiliki kekayaan cagar alamnya
saja tapi juga memiliki pantai pasir putih yang eksotik dan penghasil
jenis-jenis ikan tertentu yang sesungguhnya merupakan keistimewaan dan
daya tarik kampung Batuputih. Disamping unsur-unsur hidupan liar yang
menjadi obyek dan daya tarik wisata alam di TWA Batuputih, juga
panorama/gejala alam seperti keadaan pemandangan pesisir pantai yang
tenang, berpasir dan berkarang indah dengan ikan-ikan karang yang
berwarna-warni, tebing-tebing karang yang curam, beberapa sumber mata
air panas di bawah laut serta pemandangan alam hutan. Tidak salah jika
TWA batuputih merupakan surga dunia dari Bitung.
Status Kampung Wisata Batuputih Sebagai Kampung Khusus Wisata
Ketika Pemerintah Kota Bitung berfokus pada persiapan memasuki kota
industri perikanan yang modern (kota minapolitan), saya menangkap
peluang luar biasa yang perlu dikembangkan oleh kota Bitung dari sektor
pariwisata yaitu menjadikan Batuputih sebagai kampung khusus wisata.
Memberikan kekhususan sebagai kampung wisata tentunya kampung Batuputih
harus dikembangkan lebih serius lagi. Karena Batuputih dapat menjadi
alternatif utama ketika wisatawan ingin mencari tempat untuk berekreasi,
dimana selain memiliki cagar alam juga memiliki fasilitas rekreasi
lainnya yang harus dikembangkan oleh pemerintah yang mungkin bisa berupa
fasilitas lengkap untuk wisata laut, wisata budaya (dimana batuputih
memiliki suku dan adat istiadat yang masih kental), wisata kuliner
(dimana batuputih dikenal sebagai masyarakat nelayan yang menghasilkan
ikan setiap hari) tetapi juga fasilitas rekreasi lain yang perlu
disediakan seperti kolam renang, arung jeram (karena memiliki sungai),
cottage-cottage, dan banyak lagi yang menurut saya bisa dikembangkan
disana.
Sebagai pemerhati tata kota & lingkungan sekaligus sebagai putra
daerah kota Bitung dan Kecamatan Ranowulu, saya menangkap peluang ini
sebagai kesempatan bagi Kota Bitung untuk mengembangkan sektor
pariwisata ini sehingga akan menjadi daerah tujuan wisata yang akan
diserbu oleh para wisatawan nanti. Status Batuputih sebagai kampung
khusus wisata akan memungkinkan volume dan intensitas wisatawan lokal
maupun internasional meningkat pesat.
Peningkatan volume wisatawan ini akan memberi kontribusi yang lebih
besar lagi bagi kota Bitung tetapi juga yang pasti roda perekonomian di
kelurahan Batuputih juga terjadi peningkatan dan dapat menciptakan lebih
banyak lapangan kerja baru tetapi juga peluang bisnis bagi masyarakat
lokal. Status kampung wisata batuputih sebagai kampung khusus wisata ini
juga akan menjadi pilihan bagi wisatawan untuk memilih tempat ini
karena dianggap memiliki banyak alternatif wisata yang bisa dinikmati.
(Seputarsulut.com/rags)
0 komentar:
Post a Comment