Menelusuri sebuah Kerajaan memiliki istana bernama Katutungang di wilayah Siau Barat yang kemudian berubah namanya menjadi Paseng, setelah tahun 1619 bertepatan kunjungan Pastor Pedro Maxarenhas dari Ternate mengadakan Misa Suci untuk Raja dan seluruh keluargannya. Peristiwa ini terjadi tepat pada peringatan hari raya Paskah, sehingga Katutungan mulai waktu itu telah berubah sebutan di masyarakat menjadi Paseng dari kata Paskah atau Paschen dalam bahasa Belanda.
Sedikit mengulas tentang kata Katutungan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya sama dengan terbakar. Yang sebenarnya Kerajaan tersebut bukanlah terbakar akibat ada orang yang membakarnya, tetapi karena istana Kerajaan dikelilingi oleh lampu Padamara, yakni sejenis lampu aladin digantung pada pinggiran atap istana, maka kelihatan dari jauh seakan istanan tersebut terbakar sehingga itulah Katutungang.
Rentang jauh sebelumnya pada tahun 1563 di Istana Katutungang tinggallah seorang raja yang memerintah yakni Lokong Banua. Sedikit menarasikan tentang nama Lokong Banua yang diisyaratkan dengan bahasa simbolik merujuk pada makna Ular Melingkar Hikmat. Dalam pengertian secara naratif, konon ada sepasang suami istri pada satu malam terjaga dari tidur, dikagetkan dengan peristiwa ada seekor ular melingkar di tiang raja dari rumah tempat tinggal mereka. Suami istri dalam keadaan bertanya untuk mencari jawab tentang hal yang "aneh dan ajaib itu". Seperti biasanya waktu itu bila ada sesuatu yang mengejutkan, mereka harus mencari jawab atas hikmat yang terjadi. Tradisi masih memungkinkan untuk menjalani sebuah ritual penyembahan terhadap kuasa yang lebih tinggi mendiami tempat tertentu. Pada keesokan harinya mereka berdua Suami-Istri sepakat naik Gunung Tamata untuk melaukan tradisi ritual. Memohon kepada yang kuasa dapat meyingkapkan rahasia di balik peristiwa tersebut. Gunung Tamata adalah gunung yang kedua tertinggi setelah gunung Karangetang di Pulau Siau, menurut orang waktu itu di puncak gunung ini terdapat kuasa yang menentukan nasib manusia.
jalannya ritual, sang suami membawa seekor ayam putih sebagai syarat yang melambangkan kesucian dipersembahkan kepada dewa yang berkuasa, di atas puncak gunung, sang suami langsung menyembeli ayam tersebut kemudian darahnya ditumpahkan di tempat penyembahan sambil membacakan mantera-mantera permohonan sifatnya petunjuk terhadap keanehan terjadi. Setelah pelaksanaan ritual selesai tiga hari mereka mendapatkan petunjuk hikmat menjelaskan bahwa mereka akan mendapat anak dan anak itu akan menjadi seorang raja. Dari petunjuk hikmat tersebut anak itu diberi nama Lokong Banua artinya karena seeokor ular melingkar/melilit di tiang raja rumah tempat tinggal mereka. Hal tersebut membawa suatu pemahaman bahwa Lokong = Lingkaran, sedangkan Banua = dunia, jadi pengertian Lokong Banua menunjuk pada sang Raja yang pemerintahannya meliputi wilayah kekuasaannya yakni Pulau Siau dan sekitarnya.
Sementara Raja Lokong Banua memerintah, ia mempunya dua orang Putra yakni Angkumang putra sulung dan Posumah Lokong Banua putra bungsu. Angkumang diberikan jabatan sebagai Jogugu di wilayah Ulu Siau tepat juga pada tahun 1563 Posumah Lokong Banua diangkat menjadi raja menggantikan ayah mereka. Angkumang tidak setuju kalau adiknya menjadi penerus tahta pewaris kerajaan, maka seteleah dua tahun berselang pemerintahan yakni tahun 1563-1565 terjadilah pemberontakan, Angkumang mengecam adiknya Posumah Lokong Banua, sampai adiknya harus melarikan diri ke Ternate. Nanti pada tahun 1568 Posumah Lokong Banua datang dari Ternate disertai bantuan tentara Portugis ke Siau, sehingga terjadilah pertempuran kakak beradik perebutan tahta kekuasaan tak dapat dielakkan. Dan peristiwa itu terjadi di suatu tempat yang disebut Bongkong Bunu di kampung salili Siau Tengah, dan karena terjadinya pertumpahan darah di tempat itu maka nama Bongkong Bunu = timbunan sabuk kelapa berubah menjadi Liwua Daha = Kolam darah.
Pada peristiwa Liwua Daha Posumah Lokong Banua masih selamat, sehinggal dalam suasana yang masih belum aman ia menyertai Pastor Pedro Maxarenhas ke Kerjajaan Kolongan untuk membaptis para bangsawan, Raja, bersama pemuka masyarakat. Posumah Lokong Banua menyertai Pastor Pedro Maxarenhas bukan hanya ia menenangkan diri akibat dari pertempuran yang terjadi, tetapi ia adalah sorang Raja yang mahir berbahasa Portugis dan Belanda. Karena itu ia dimanfaatkan sebagai seorang penterjemah terhadap kehadiran orang Portugis dengan masyarakat Sangihe.
Peristiwa Liwua Daha ternyata tidak menenggelamkan singgasana Kerjaan yang ada di Pulau Siau sampai hilang lenyap, tetapi Kerjaan yang tetap kokoh ditandai dengan pergantian para Pemimpin atau raja dari waktu ke waktu. Akibat dari peristiwa pertumpahan darah terjadi maka pusat Kerajaan telah dipindahkan ke Ulu Siau di bawah pemerintahan Raja Don Jeronimo Winsulangi yang memerintah sejak 1612-1642. Dalam kepemerintahannya pada tahun 1614 Kerajaan direbut oleh Belanda, Raja lari ke Filipina sesudah ia mengamankan diri di Tagulandang, nanti pada tahun 1622 Winsulangi kembali ke Siau saat pemerintahan sudah dipindahkan ke Pehe. Kemudian tidak lama kerajaan itu direbut dan langsung dibakar oleh orang-orang Mindanau Filipina, sehingga pusat kerjajaan dipindahkan lagi ke Ondong. Ada kebenarannya jika orang tua meninggalkan pesan melalui kata "Ondong Horo, Ulu Samuri" itu artinya pusat pemerintahan pertama adalah di Ondong sehingga ketika Pulau Siau Tagulandang Biaro membentuk pemerintahan secara sendiri dari Kabupaten Kepulauan Sangihe maka Ondong menjadi pusat pemerintahan sesuai sejarahnya.
Setelah kerjaan itu mengalami peristiwa ke peristiwa sehingga harus dipindah ke beberapa tempat, maka semangat kepemimpinan masih dilanjutkan secara estafet sehingga dalam urutannya masih ada 19 orang Raja yang tercatat mewarnai kepemimpinan di Kerajaan Siau. Menurut catatan yang ada Raja-Raja tersebut adalah :
a. Don Fransiscus Xaverius Batahi (1642-1678)
Dari tuturan silsilah, raja tersebut adalah anak dari Wingsulangi bersama istrinya bernama Tihuwangsompo, dalam suasana pemerintahannya sempat memindahkan istana kerja dari Paseng ke Pehe dengan maksud untuk mendirikan pertahanan saat mengusir bangsa Spanyol dari tanah Karangetang. Secara kekuatan politik ia mendapat bantuan dari Gubernur Roberto Padbungge bersama Hatjibi Sibore sultan Ternate. Adapun maksud Belanda memberikan bantuan tersebut sekaligus untuk dapat menguasai pemerintahan. Selain itu Raja ini juga memperakarsai momentum penanda tanganan Lange Verklaring V.O.C pada tanggal 9 November 1677 saat itu ia mendapat gelar "Raja Sisir" menunjuk pada identitasnya sebagai raja yang bijaksana. Dalam perjalanan pemerintahannya ia didampingi oleh istrinya bernama Maimuna seorang putri anak dari Don Fransiscus Makaampo Juda raja Kerajaan Tabukan.
b. Hendrik Daniel Jacobus Raramenusa (1678-1716)
Di zaman pemerintahannya selain ia meneruskan tugas dari raja sebelumnya, ia dapat memperluas wilayah kekuasaan dari daratan Pulau Siau ke gugusan pulau Para, Kahakitang dan Mahengetang.
c. Jacobus Lohontundali (1716-1752)
Tidak banyak keterangan tentang raja ini, hanya mengukir kesetiaan dalam menjalankan pemerintahannya demi kehidupan masyarakat. Melaksanakan tugas dengan apa adanya, sehingga pemerintahan berjalan dengan baik tanpa gangguan sedikitpun.
d. Ismail Jacobus Mehengkenglangi (1752-1788)
Istana pemerintahan dipindahkan lagi dari Pehe ke Ondong sebagai Ibu Kota Kerajaan, Ia mempunya permaisuri bernama Ester Monggoadi Manopo Putri asal Bolangitan wilayah Bolaanmongondow. Karya yang sangat berharga yakni pada tahun 1755 ia mendirikan gereja di Ondong berbentuk segi delapan. Tidak dapat ditemukan motivasi bentuk Gereja seperti itu, namun perlu dipahami dalam kajian latar belakangnya bahwa raja tersebut memiliki angka delapan sebagai angka kramat punya nilai tersendiri baginya.
e. Eriscus Jacobus Begandeliu (1788-1790)
Raja tersebut menjadi kurang waras sementara menjalani tugas kepemimpinannya sehingga ia diganti oleh adiknya bernama Eginius Umboliwutang sampai waktunya selesai.
f. Eginius Jacobus Umboliwutang (1790-1822)
Dari tengah kepemimpinannya yang cukup cemerlang, terungkap pesan moral bagi masyarakat bahwa suatu saat bila baginda akan wafat, maka jenazahnya harus dikebumikan pada tempat yang paling tinggi atau puncak tertinggi. Dari sini lahir kearifan lokal dalam masyarakat Siau, khususnya mengenai sebutan pertama tentang kata "Karangetang" (Tertinggi). Kajian hikmat socio kemasyarakatan kata "Karangetang" sebenarnya bukan menunjuk pada suatu puncak gunung tertentu - yang dipopulerkan adalah puncak gunung Karangetang vulkanik sampai saat ini begitu aktif. Tetapi sebutan "Karangetang" (Puncak tertinggi) merupakan bahasa simbol spiritualitas menunjukan pada tempat Ibadah yakni gedung Gereja. Hal ini terbukti ketika sang Raja telah mangkat benar jazatnya oleh masyarakat dimakamkan di dalam gedung Gereja Ondong sebagai penghormatan terhadap jazahnya atas pengabdian selama ia hidup. Oleh karena hal ini hanya sebatas penghargaan, maka bagi masyarakat sekaligus warga jemaat setempat memahaminya sebagai pengharagaan, sehingga tidaklah terjadi dualisme pemahaman dimana gedung Gereja sedikit pada dua fungsi yakni tempat pemujaan terhadap Allah sebagi Tuhan, di pihak lain pemujaan terhadap arwah orang mati. Anak cucu tidaklah menuntut lebih untuk berbangga hati, namun peristiwa ini memberi motivasi bagi semua orang dapat melihat bahwa ada seorang pemimpin yang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya semasa hidup dengan takut akan Tuhan.
g. Octavianus Paparang (1822-1839)
Putra dari Raja paparang Pahawuateng saudara Raja Umboliwutang.
h. Nicolaus Ponto Tawere (1839-1842)
Putra Raja Salmon Ponto yang berasal dari Bolangitang, wilayah Bolaanmongondow.
i. President Raja Marcus Dulage (1842-1850)
j. Jacobus Ponto Mangoheng (1850-1889)
Putra Raja Daud Ponto dari Bolangitang, ketika tahun 1882 telah terjadi perebutan wilayah kekuasaan dengan Raja Manganitu bernama Salmon Wintuaheng Katiandagho di sekitar teluk Dagho dan Lapango. Raja Jacobus Ponto Mangoheng usai pertikaian oleh Belanda diasingkan ke Cirebon sampai wafat di sana tahun 1890 tempatnya di Sangkanurip sekitar 25 km jauhnya dari Cirebon jalan ke Tegal dan Pekalongan.
k. President Raja Samuel David (1889-1896)
Pada saat pelaksanaan pemerintahan pusat kerjaan dipindahkan dari Ondong ke Ulu Siau pada tanggal 30 Nopember 1890. Sebagai seorang Raja ia melakukan terobosan sehingga terjadi keseimbangan wilayah pemerintahan agar masyarakat mengalami sentuhan pelayanan.
l. M. D. Kansil (1896-1908)
m. President Raja A. J. Mohede (1908-1912)
Dalam masa pemerintahan wilayah kerajaan Siau menjadi berkurang sebagaimana jumlah yang biasa mencakup wilayah Tamako, karena pada tahun 1911 wilayah Tamako telah digabung dengan kerajaan Manganitu.
n. Anthoni Jafet Kansil Bogar (1912-1918)
Pada tahun 1918 masyarakat di Pulau Siau mengalami musibah penyakit yakni bala sampar, maka dengan peristiwa ini telah membawa sebagaian anggota masyarakat tidak bisa ditolong dan meninggal dunia termasuk Sang Raja meninggal bersama dalam musibah tersebut.
o. President Raja Alex Dulage (1918-1921)
p. Lodewijk N. Kansil (1921-1928)
Raja tersebut adalah Putra Raja M. D. Kansil, karena konsekwensinya terhadap rakyat mempertahankan kebenaran kendati oleh penjajah pada tahun 1929 ia diasingkan ke Parigi (Sulawesi Tengah).
q. Hendrik Philips Jacobus Malempe (1928-1934)
Dari nama yang disandang dapat dikenal Raja tersebut adalah berasal dari Tagulandang, sehingga tidak mengherankan kalau kekuasaannya meliputi wilayah Siau dan Tagulandang. Katakanlah bahwa Raja ini dalam kepermerintahannya merangkap Raja Tagulandang.
r. R. Janis (1934-1937)
s. F. P. Parengkuan (1937-1945)
Raja ini berasal dari Minahasa, dalam programnya ia mencanangkan pembuatan jalan raya untuk transporatasi darat dimana kendaraan (mobil) dapat beroperasi di Siau. Prakarsa itu membawa dampak bagi generasi yang sampai sekarang dapat dirasakan manfaatnya.
Sesuai catatan sejarah ada dua puluh orang Raja yang memerintah dalam Kerajaan Siau dengan segala kelebihan dan kekurangannya nampak pada karakter kepemimpinan, sehingga begitu banyak pesan moral dapat dijadikan pedoman hidup bagi generasi pada era post moderen ini. Memang dapat dikedepankan sebuah pertanyaan mengapa Raja Lokong Banua menjadi sentral perhatian dari sekian Raja Siau. Jawabnya sangat sederhana, karena Raja Lokong banua mempunyai kelebihan secara khusus bukan dari perspektif karakternya yang cukup disegani membawa kerajaan Siau di puncak kegemilangan. Tapi kelebihan Raja Lokong Banua ada pada hikamat yang menunjuk sebagai ia tahu menjadi Raja apalagi gari keturunan bukan syarat membawanya ke kursi singgasana kerajaan.
Ia memang ditakdirkan menjadi seorang Raja yang karismatik dapat mengayomi wilayah pemerintahan bagaikan seekor ular yang melingkar hikmat. Karena itu namanya masih terpatri dalam sanubari masyarakat Siau, nama yang memiliki kekuatan moral tetap diabadikan sepanjang masa. Masyarakat Pulau Siau mamatrikan nama Lokong Banua kepada sebutan jalan yang ada di Pulau Siau dan diberi nama sebuah kapal alat angkut transportasi bagi masyarakat.
Pemberian nama bagi seseorang dalam tradisi orang Sitaro mengandung hikmat, doa dan harapan sehingga dalam pertumbuhannya anak tersebut pasti akan dapat menterjemahkan arti dari nama yang disandang atau diberikan oleh orang tua. Konsekwensi dari melalaikan makna tradisi tersebut adalah melalaikan arti dari nama yang diberikan itu, sehingga sekali nama itu jatuh seumur hidup tidak akan dapat dipercaya.
Karena itu pesan moral dari pemaknaan ini adalah kita dapat menjaga nama yang diberikan sebagai identitas jati diri, dimana apa yang dibuat merupakan representasi dari totalitas hidup kita sebagai manuasia holestik. Hikmat, doa harapan dari pemberian nama dapat diterjemahkan memaknai seluruh karya perjalanan generasi ke masa depan. Karena itu bahasa kearifan lokal leluhur masa lampau tidak bisa digeser oleh perubahan zaman yakni : "Ana ini i eolang sarung makawewe arenge" (Melalaui pemberian nama anak tersebut dalam perkembangannya dapat menterjemahkan arti dari nama yang disandang).
Sumber :
Pdt. Ambrosius Makasar, M.Th Tahun 2011
"Menelusuri dan Menemukan Hikmah"
Editor : Datros Sumendong
0 komentar:
Post a Comment