Suarasitaronews.com : Artijo
Alkostar namnya, Hakim Agung jabatannya, tak kenal kompromi sifatnya,
saat ini sedang menjadi pembicaraan baik dikalangan pemerhati hukum
maupun masyarakat pada umumnya. Gara-garanya mengganjar Angelina Sondakh yang semula di putus 4 tahun 6 enam bulan penjara, diubah dengan ganjaran 12 Tahun penjara plus denda sebanyak 500 juta perak serta uang pengganti 12,58 milyar rupiah dan 2,35 juta dolar Amrik. Putusan Kasasi atas kasus korupsi mantan putri Indonesia yang juga politisi/Anggota DPR-RI dari Partai Demokrat ini, dianggap oleh berbagai kalangan sebagai putusan yang fenomenal.
Tak pelak berbagai media
ramai menyoroti sosok Hakim Agung ini. Banyak penulis yang mengupaa tuntas tentang perannya di Mahkamah Agung dalam menangani kasus kasus
“besar” seperti kasus BLBI, kasus mantan Presiden Soeharto, kasus Gayus
Tambunan dan lainnya.
Sebetulnya,
perubahan putusan terhadap kasus korupsi yang diputus di tingkat Kasasi
oleh Artijo Alkostar bukan hanya terhadap Anggelina Sondakh. Lihat saja
misalnya putusan terhadap Tommy Hindratmo, kasus suap dan
penyalahgunaan wewenang restitusi Pajak PT Bhakti Investama yang semula
di putus 3 tahun 6 bulan diubah menjadi 10 tahun penjara. Demikian pula
terhadap kasus Anggodo yang menyuap penyidik KPK, dari 5 tahun
berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta,
diubah menjadi 10 tahun. Adalagi putusan yang sangat berat bagi si
pelaku korupsi PT Aksrindo yakni Umar Zen yang diputus 3 tahun penjara
oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, diubah menjadi 15 tahun penjara.
Dari berbagai putusan yang dianggap fenomenal
diatas, pembicaraan maupun ulasan di berbagai media ahirnya banyak
yang menyoroti siapa sebetulnya Artijo Alkostar. Sayapun sepakat
untuk mengatakan bahwa Artijo Alkostar adalah Hakim Agung yang
pemberani, jujur dan tidak pandang bulu. Bahkan kalau boleh saya
menambahkan Artijo Alkostar adalah sosok orang yang sejak dahulu tidak
pernah memanfaatkan jabatan dan selalu berfikir soal keadilan.
Untuk memberikan gambaran tentang hal diatas, saya akan coba
mengingat kembali langkah Artijo Alkostar saat saya menjadi mahasiswa
di Fakultas Hukum UII Yogya dan sering mengikuti aktifitasnya. Di
kalangan aktivis MahasiswaUII, Artijo Alkostar dianggap sebagai dosen
yang bukan hanya bisa mengajar, tetapi sangat konsen dengan pembinaan
dan pengkaderan terhadap Mahasiswa agar Mahasiswa berfikir kritis dan
bertindak sebagai calon intelektual. Namun dikalangan Mahasiswa
kebanyakan, Artijo Alkostar dianggap sebagai dosen “killer” untuk urusan
akademis. Bagi saya dan kawan-kawan sesama aktivis, ikut juga merasakan
ke-killer-annya itu dalam arti bahwa Artijo Alkostar memang tidak
pandang bulu, tidak mengenal kompromi. Mau aktivis, kenal dekat, tidak
lulus ya tidak lulus.
Seorang aktivis yang juga sohib saya Iman Masfardi Pimpinan Umum Majalah LPM Fakultas Hukum UII “Keadilan”, pernah terkena “killer”nya
Artijo Alkostar. Suatu hari, Artijo Alkostar yang juga Direktur LBH
Yogya menjemput Iman Masfardi (memakai motor butut kesayangan Artijo
Alkostar) untuk membantu mempersiapkan ruangan dan kursi di LBH karena
malamnya akan ada diskusi. Imanpun di tahan di LBH hingga acara diskusi
selesai, Iman di perbolehkan pulang esok paginya, artinya Iman nginap
di LBH. Malang tak dapat dihindari, pagi itu ada ujian mata kuliah hukum
Pidana II, dosennya ya Artijo Alkostar. Tiba giliran pengumuman,
ternyata Iman masfadi tidak lulus. Imanpun kemudian menanyakan kenapa
tidak lulus. Dengan entengnya Artijo menjawab “ La bagaimana mau lulus,
hasilnya jelek “Jawab Artijo saat itu. Imanpun masih berkelit “ Ya
bagaimana bang, tadi malam kan sama abang “, jawab Iman. “ ya itu hal
lain, engga ada kaitannya dengan soal ujian”, katanya.
Sayapun tak
luput dari “kekilleran” Artijo Alkostar. Saat itu ada program Study
Eksplorasi mahasiswa fakultas Hukum UII ke berbagai institusi hukum.
Setelah di bagi dalam kelompok, saya berlima Iman Masfardi, Panusunan Harahap, Thia (lupa nama panjangnya), Salman Luthan
(kini Hakim Agung) membuat kelompok sendiri memilih Lembaga
Pemasyarakatan Nusakambangan untuk mengobsesrvasi tentang Efektivitas
pemidanaan didampingi seorang Supervisor Mahasiswa Senior yakni
Muzakkir (saat ini Guru Besar pidana di FH UII Yogya), pembimbingnya ya
Artijo Alkostar. Karena kelompok saya hanya 5 orang (sementara
kelompok lain bisa 2 bus perkelompok), kami cukup pakai pit montor dari
Jogja-ke Cilacap. Hasil dari observasi itu, masing-masing anggota harus
menyerahkan laporan kepada pembimbing dengan waktu yang sudah di
tentukan. Sialnya, saya terlambat menyerahkan laporan, maka sayapun di
ganjar dengan nilai D, artinya tidak lulus….!.
Disamping
sifat Artijo yang tidak kenal kompromi, ada lagi sifat pribadi Artijo
Alkostar yang lain, yakni Tidak pernah memanfaatkan jabatan untuk
kepentingan pribadi. Saat menjadi Dekan I FH UII tahun 80-han, ia
lebih senang pulang pergi ke kampus naik motor yang sudah butut
ketimbang naik mobil yang sudah disediakan Fakultas. Pernah suatu hari
saat berangkat dari rumahnya di Sidoarum-Godean menuju kampus, motornya
mogok di tengah jalan. Tanpa berpikir panjang, ia titipkan motor di
sebuah warung, Artiijopun naik colt kampus (sebutan untuk angkutan kota
di jogja saat itu).
Begitu pula saat awal bertugas
di Mahkamah Agung, Artijo tidak mau naik kendaraan selain bus
kota,bajaj atau ojek. Bahkan sampai sekarangpun, setiap sabtu pulang
dari Jakarta ke Jogja untuk memberikan kuliah di Fak. Hukum UII, di jemput keponakannya pakai sepeda motor.
Soal
dedikasinya terhadap penegakan hukum dan HAM, tidak ada yang meragukan.
Dan itu dilakukan sejak dahulu saat masih menjadi direktur LBH Jogya.
Tahun delapan puluhan, saat ramainya Petrus (penembakan Misterius),
Artijo Alkostar adalah tokoh yang paling gigih menentang aparat
menghabisi para gali ( sebutan untuk preman di Jogja) dengan cara
Petrus dan penyiksaan, padahal sebelumnya Artijo justru sering mendapat
ancaman dari gali. Namun pada saat musim petrus, justru banyak gali
yang minta perlindungan kepada Artijo sebagai Ketua LBH Yogya dan Artijo
tidak mendendam bahkan siap melindungi. Resiko yang dihadapi Artijo
adalah mendapat ancaman akan di habisi, tapi Artijo ALkostar tak
bergeming. Itu saya tahu karena saya dan kawan-kawan dari Kelompok
Studi Koma sering datang ke rumah Artijo untuk berdiskusi.
Selama
mengabdi di fakultas Hukum UII yogya, Artijolah yang mendorong
berdirinya Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII dan Pusat
Studi HAM (Pusham) FH UII. Di luar kampus Artijo Alkostar konsisten
membina LBH Yogya. Dari ketiga institusi ini telah banyak melahirkan
tokoh nasional di bidang hukum maupun advokat terkenal di antero
nusantara ini. Sebut saja misalnya Busyro Muqoddas (KPK), dulu aktif di
LKBH dan dosen FH UII. Suparman Marzuki (Ketua Komis Yudisial) Direktur
Pusham UII, dosen FH UII. Salman Luthan (Hakim Agung) aktivis Pusham dan
dosen FH UII. Ifdhal Kasim (mantan Ketua Komnas HAM), Abdul Haris
Semendawai (Ketua LPSK), Siti Noor Laila (Ketua Komnas HAM) dan lainya.
Satu hal lagi yang tidak banyak diketahui publik adalah sifat kelembutan Artijo Alkostar dalam bergaul. Artijo
sesungguhnya adalah pribadi yg terbuka, egalitier, dan supel. Artijo
bisa dan tidak canggung berdiskusi, berkawan dg beragam orang dari
berbagai lapisan dan latar belakang. Ini fakta yang tak terbantahkan
sejak dahulu. Saat menjadi dekan I Fak. Hukum UII, tak segan makan
bersama, ngopi bersama dengan mahasiswa. Demikian halnya di luar
kampus, Artijo akrab dengan komunitas wong cilik, seperti pedagang kaki
lima termasuk dengan gelandangan.
Oleh karenanya Artijo kemudian
diangkat menjadi Penasihat sekaligus Pelindung Persatuan Pedagang Sate
Madura yang di ketuai Cak Fa’i yang buta huruf. Saking akrabnya dengan
gelandangan, Artijo kemudian tertarik untuk menyelami kehidupan manusia
pinggiran ini. Artijo kemudian ikut menggelandang, bercengkrama dengan para gelandangan. Pengalaman menggelandang itu ia tutis menjadi sebuah buku dengan judul “KESEPIAN DALAM KERAMAIAN”
Jadi, secara
ringkas, langkah Artijo Alkostar dalam memutus perkara di MA dengan
putusan yang fenomenal dan kadang dianggap kontroversial, bukanlah hal
yang ingin mencari popularitas. Apapun yang di lakukan Artijo Alkostar
adalah sikap yang di dasarkan atas objektifitas, dan proffesionalitas.
Dalam konteks kepribadian, Artijo Alkostar adalah sosok pribadi yang
jujur, pemberani, tak mau memanfaatkan jabatan dan selalu ingin
menegakkan kebenaran berdasarkan keadilan. Pribadi dan karakter yang
demikianlah yang seharusnya melekat kepada siapapun yang di pundaknya
memikul tanggung jawab penegak keadilan yang di sebut Hakim. Artijo
Alkostar memiliki semuanya dan layak menjadi Ketua Mahkamah Agung.
(kompasiana.com/rags)
0 komentar:
Post a Comment